Pemikiran Kalam Ulama Modern
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen
pengampu: Ahmad Sulton S.Pd.I M.Pd.I.
OLEH :
NADHIFATUL
KHOIRI 15051024
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
TAHUN 2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur pada Allah yang Maha Esa yang telah memberikan kami nikmat yang banyak
sehingga kami mampu menyusun makalah “PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN” ini.
Makalah
kami kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah ILMU KALAM, dalam penyusunan
makalah ini kami berusaha untuk dapat
menyelesaikan sebaik-baiknya dan kami juga berterimakasih kepada banyak pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, jika dalam makalah ini terdapat
kesalahan kata maupun penulisan kami minta kritik dan saranya sehingga kami
dapat memperbaikinya di lain kesempatan.
Sukodadi,
05 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR …………………………………………………….……….…...i
DAFTAR
ISI ……………………………………………………………….…………..ii
BAB
I PENDAHULUAN. …………………………………………………….….…….1
A. Latar
Belakang...…………………………………………………………...........……....1
B. Rumusan
Masalah..……………………………………………...….……..........….…...1
C. Tujuan
..…………………………………………………………………..........….…....1
BAB
II PEMBAHASAN ..…………..…………………..………………...….………..2
A. Muhammad Abduh…...…….………..……………………………………..........……..2
B. Ahmad Khan………………………..……………………...……………….........…….4
C. Muhammad Iqbal ……..…………….……...……..………………………….........…..7
BAB
III PENUTUP. …………………………………………………………....…......18
A. Kesimpulan.………………………………………………...………………................18
B. Saran
…………………………………………………………………….…..........…..18
DAFTAR
PUSTAKA ………………………...………………………………………19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
islam dalam teori dan praktik selalu mengalami perkembangan, hal ini di
sebebkan karena pendidikan islam secera teoritik memilik dasar dan sumber
rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar, melainkan juga wahyu. Kombinasi nalar dengan wahyu
ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal manusia dan tuntunan
firman Allah terkait dengan masalah pendidikan. Kombinasi ini menjadi ciri khas
pendidikan islam yang tidak di miliki oleh konsep pendidikan islam pada umumnya
yang hanya mengunakan kekuatan akal dan budaya manusia.
Dalam konteks ini, kami bermaksud untuk mengawali proses keluar dari
kemelud tersebut melalui pebggalian khazanah intelektual tokoh muslim yang
terkait dengan pendidikan, agar dapat di telaah ulang dan di jadikan sebagai bahan
diskusi untuk membangun kemajuan pendidikan islam di masa datang. Terlalu
banyak tokoh, memang, namun dalam tulisan yang amat terbatas ini kami mengambil
beberapa nama yang bias di kategorikan berada pada masa klasik, tengah dan
modern. Al-Qabisi merupakan tokoh pendidikan awal yang perlu di kuak khazanah
pemikiranya. Begitu pula halnya dengan ibnu sina, Al-Ghazali, Ibnu khaldun yang
merupakan tokoh abad tengah amat penting untuk di ketahui ide-ide mereka
seputar pendidikan.. memasuki masa modern, beberapa nama seperti Muhammad
Abduh, Muhammad Athiyah al-Abrazy, dan Fazlur Rahman, di harapkan mampu
memberikan “pencerahan” dalam pemikiran pendidikan islam saat ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Riwayat Hidup dan Pemikiran Kalam Muhammad Abduh?
2.
Bagaimana Riwayat Hidup dan Pemikiran Kalam Ahmad
Khan?
3.
Bagaimana Riwayat Hidup dan Pemikiran Kalam
Muhammad Iqbal?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk Mengetahui Riwayat Hidup dan Pemikiran
Kalam Muhammad Abduh.
2.
Untuk Mengetahui Riwayat Hidup dan Pemikiran
Kalam Ahmad Khan.
3.
Untuk Mengetahui Riwayat Hidup dan Pemikiran
Kalam Muhammad Iqbal.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Syekh Muhammad Abduh
a. Riwayat Hidup Muhammad
Abduh
Syekh Muhammad Abduh – nama lengkapnya Muhammad bin’Abduh bin Hasan
Khairullah- lahir di desa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada
tahun 1849 M. Ia berasal dari keturunan yang tidak tergolong kaya, bukan pula
keturunan bangsawan. Walaupun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat
yang suka memberi pertolongan.[1]
Kekerasan yang diterapkan penguasa-penguasa Muhammad ‘Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk
pindah-pindah tempat untuk menghindarinya. Abduh dilahirkan dalam kondisi yang
penuh kecemasan ini.[2]
Kelahiran
Abduh bersamaan dengan masa ketidakadilan dan ketidaksamaan di Mesir. Ketika
itu, Mesir berada di bawah kekuasaan Muhammad Ali Pasha. Salah satu kebijakan
pemerintah yang merugikan rakyat Mesir waktu itu adalah tingginya pajak tanah.
Ia diusir ke Gharbiyah, Mesir, selama 15 tahun karena sikap menentang orang
tuanya terhadap pungutan pajak tanah yang dianggapnya terlalu tinggi tersebut.
Setelah habis masa tiraninya, orang tuanya mengajak kembali ke kampung halaman
dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di desa kelahirannya.[3]
Muhammad
Abduh mengawali pendidikannya belajar pelajaran pada umumnya seperti membaca,
menulis dan membaca Al-qur’an pada ayahnya di rumah, berkat otaknya yang
cemerlang dalam jangka waktu dua tahun ia mampu menghafal Al-Qur’an seluruhnya.
Saat itu ia berusia 12 tahun.[4]
Kemudian diusianya yang ke 14 tahun, ia dikirim Ayahnya ke Thanta untuk belajar
di masjid al-Ahmadi (al-Jami al-Ahmadi). Di sini di samping melancarkan hafalan
Al-Qur’annya, ia juga belajar bahasa Arab dan Fikih.[5]
Mula-mula
Abduh dikirim ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Tanta tempat ini menjadi pusat
kebudayaan selain Al-Azhar. Akan tetapi, sistem pengajaran di sana sangat
menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun di sana , ia memutuskan untuk
kembali ke desanya dan bertani, seperti saudara-saudara serta kerabatnya. Di
masjid Ahmadi, ia mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak puas,
bahkan membawanya pada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
seperti yang diharapkannya. Perasaan demikian berpangkal dari metode pengajaran
yang diterapkan di sekolah tersebut mementingkan hafalan tanpa pengertian sama
halnya dengan metode pengajaran yang diterapkan di dunia Islam ketika itu.
Abduh sebagai seorang yang kritis merasakan tidak efektifnya metode yang demikian.
Barangkali ia berpendapat lebih baik tidak belajar daripada menghabiskan waktu
menghafal istilah-istilah nahu dan fikih yang sama sekali tidak dipahaminya.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di tempat yang sama. Pada jenjang
lanjutan ini Abduh tidak menyukai metode pembelajaran yang diterapkan sehingga
ia memilih untuk kembali ke kampung halamannya dan menikah dengan gadis di
desanya tersebut dalam usia 16 tahun dan hidup sebagai petani. Semula ia bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya , tetapi akhirnya ia kembali belajar atas
dorongan pamanya, Syekh Darwish, yang banyak memengaruhi kehidupan Abduh
sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya, Abduh berkata , ‘Ia
telah membebaskanku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan
membimbingku menuju ilmu pengetahuan.[6]
Karena
rasa cinta pada ilmu yang dimiliki oleh orang tuanya, maka ia tidak menyetujui
langkah yang diambil oleh Abduh. Ia memerintahkan Abduh agar kembali ke Masjid
Ahmadi di Thanta dan belajar kembali seperti semula. Meskipun ia mengajukan
berbagai alasan, namun sikap tegasnya orang tuanya tidak teratasinya, sehingga
akhirnya perintah tersebut terpaksa diturutinya. Pada saat Abduh berada di
desanya dan dalam keadaan yang tiada semangat lagi untuk melanjutkan pendidikan,
namun di tengah perjalanan pulang, ia berbelok arah ke tempat lain, ke sebuah
desa yang sudah dikenalnya, tempat tinggal salah seorang paman orang tuanya
yang bernama Syaikh Darwish, penganut Tarekat Syaziliyah dan bermazhab Maliki.
Syaikh Darwish kelihatannya tidak hanya menerimanya sebagai seorang tamu,
tetapi lebih dari itu, ia bersikap sebagai guru dan pembimbing yang dapat
memahami konflik yang sedang dialami oleh Abduh. Syaikh Darwish memberikan
motivasi yang sangat berharga kepada Abduh untuk bersedia melanjutkan
pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi. Sesuai dengan ke-Islaman
pamannya, yaitu Islam sufi, maka Darwah juga mengenalkan ilmu agama dan
menyarankannya untuk bergabung dengan kelompok sufi. Dengan saran pamannya
tersebut ternyata mampu membangkitkan semangat keilmuan Abduh hingga membawanya
pada penerangan spiritual. Ia bisa merasakan kenikmatan bersatu dengan Tuhan (wajibal
wujud). Berdasarkan berbagai sumber, pengalaman Abduh dalam dunia sufi
tersebutlah yang membentuk sikap penentangannya terhadap taqlid yang
membabibuta.
Setelah merampungkan studinya di bawah bimbingan pamanya, Abduh
melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Febuari 1866.[7] Pada tahun 1871, Jamaludin Al-Afghani
(1839-1897) tiba di mesir. Saat itu, Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar.
Kehadirannya disambut Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya.
Untuk selanjutnya, ia menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Lalu, Al-Afghani
yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang sosial dan politik. Artikel-artikel
pembaruanya banyak dimuat di surat kabar Al-Ahram di Kairo.[8]
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan
gelar “Alim”, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, kemudian di Dar Al-Ulum
dan di rumahnya. Pada saat Al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karenah
di tuduh mengadakan gerakan penentang terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga
dipandang ikut campur di dalamnya. Oleh karena itu, ia dibuang keluar kota
Kairo. Pada tahun 1880 ia diperbolehkan kembali ke ibu kota kemudian diangkat
menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir, Al-Waqa’i
Al-Mishriyyah. Pada waktu bersamaan, kesadaran nasional Mesir mulai tampak.
Di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang
urgenitas nasional Mesir, di samping berita-berita resmi.[9]
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh
ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’i dituduh terlibat dalam
revolusi besar tersebut, sehingga pemerintah mesir memutuskan untuk
mengasingkanya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya untuk memilih
tempat pengasingannya. Ia pun memilih Suriah. Di Suriah, ia menetap selama satu
tahun. Kemudian, ia menyusul gurunya, Al-Afghani, yang ketika itu berada di
Paris. Di sana mereka menerbitkan surat kabar Al-‘Urwah Al-Wutsqa, yang
bertujuan mendirikan Pan-Islam Serta menentang penjajah Barat, khususnya
Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk
menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir.Tahun 1899,
Abduh diangkat menjadi mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegagnya sampai ia
meninggal dunia tahun 1905.
b. pemikiran-pemikiran Kalam Muhammad
Abduh
Muhammad
Abduh berpendapat bahwa umat Islam tidak bisa secara sederhana menyandarkan
pada penafsiran teks yang berasal dari ulama ahad tengah, sebaliknya, umat
Islam perlu menggunakan akal untuk sejalan dengan perubahan waktu. Ia
mengatakan bahwa dalam Islam seseorang tidaklah diciptakan untuk dipimpin oleh
sebuah kekangan, namun ia dikaruniai intelek agar dapat dituntun oleh
pengetahuan. Menurut Abduh, peran guru adalah untuk menunjukkan manusia kepada
kajian. Ia percaya bahwa Islam mendorong manusia untuk melepaskan diri dari
nenek moyangnya dan bahwa Islam memarahi tradisi meniru seperti budak. Ia
mengatakan bahwa dua kepemilikan terbesar terkait dengan agama adalah bahwa
manusia dikaruniai dengan kemerdekaan atas kehendak dan kebebasan berpikir dan
berpendapat. Dengan bantuan alat tersebut manusia bisa memperoleh kebahagaiaan.
Ia percaya bahwa perkembangan peradaban Barat di Eropa adalah didasarkan pada
dua prinsip tersebut. Ia berpendapat bahwa bangsa Eropa bangkit untuk bertindak
setelah banyak dari kalangan mereka mampu melaksanakan pilihan dan mencari
fakta dengan akal mereka.
Lawan
Abduh menuduhnya sebaga faktor, namun para pendukungnya menyebutnya sebagai
orang bijak, pembaru agama dan pemimpin pembaru. Ia secara konvensional
dianugerahi julukan Ustad al-Imam dan al-Syaikh al-Mufti. Dalam karya tulisnya,
beliau menyatakan bahwa Tuhan melakukan pendidikan kemanusiaan sejak
kanak-kanak, lalu remaja dan dewasa. Menurutnya, islam adalah satu-satunya
agama yang mrmiliki dogma yang bisa dibuktikan dengan akal pikiran. Abduh tidak
mendukung untuk kembali kepada tahap perkembangan awal Islam. Ia menentang
poligami dan berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kebiasaan kuno. Ia
percaya bahwa Islam membebaskan manusia dari perbudakan, memperlakukan hak yang
sama pada semua manusia, menghapus monopoli ulama’ dalam penafsiran agama dan
menghilangkan diskriminasi ras serta paksaan terhadap agama.
Abduh
berupaya keras untuk mengkampanyekan hubungan harmonis antara Sunni dengan
Syi’ah. Secara umum ia menyeru pada persaudaraan antara seluruh aliran
pemikiran dalam Islam. Walaupun begitu, ia mengkritik perilaku salah seperti
tahayyul itu berasal dari tasawuf. Abduh terus-menerus menyeru pada
persahabatan lebih baik antara masyarakat beragama. Mengingat bahwa agama
kristen adalah agama terbesar kedua di Mesir, maka ia mencurahkan upayanya secara khusus untuk
meningkatkan persahabatn umat Islam dan kaum Kristiani. Ia punya banyak kawan
kristiani dan sering berdiri membela pemeluk Koptik. Selama revolusi Urabi
sebagian umat Islam mengepung sejumlah penganut Koptik secara keliru sehingga
mengakibatkan kemarahan pihak kolonial Eropa.
Pemikiran
kalam Abduh meliputi beberapa hal, yaitu masalah perbuatan manusia, qada’ dan
qadar , dan sifat-sifat Allah,. Bagi Abduh, manusia adalah makhluk yang bebas
dalam memilih perbuatannya, karena didukung oleh tiga unsur, yaitu: akal,
kemauan dan daya. Ketiganya merupakan ciptaan Tuhan bagi manusia yang dapat
dipergunakan dengan bebas (Abduh, Risalah
al-Tauhid, 1965:5). Akal dan kebebasan adalah natur manusia yang merupakan
yang merupakan keistimewaan yang dimilikinya dan tidak terdapat pada makhluk lain.
Kalau salah satu di antara keduanya hilang, maka ia tidak lagi bernama manusia,
tapi mumgkin berupa malaikat atau mungkin pula binatang. Kebebasan yang
dimaksud Abduh bukanlah tanpa batas atau kebebasan yang bersifat absolut.
Batasan dimaksud adalah karena lalai (taqshir)
dan karena sebab alam (al-asbab
al-kauniyah), yaitu peristiwa alam yang tidak terduga. Manusia melakukan
perbuatan dengan daya dan kemampuannya, namun kekuasaan Allah vadalah tempat
kembali semua yang terjadi. Dalam keterangannya yang lain ia menyatakan bahwa
kekuasaan Allah tersebut adalah dalam menciptakan sunnatullah.
Sunnatullah adalah
tempat pengembalian semua yang terjadi di alam ini. Tuhan, katanya menjadikan
segala sesuatu di atas hukum alam, berupa sebab akibat yang ditetapkan-Nya.
Dengan demikian, suatu kegagalan yang disebabkan taqshir terjadi adalah karena manusia tidak memenuhi sebab-sebab
yang ditetapkan Tuhan sebagai Sunnatullah
yang berlaku di alam ini. Seperti dikatakannya, bahwa berhasil atau tidaknya
suatu perbuatan bergantung pada terpenuhi atau tidaknya sebab-sebab yang
membawa kepada keberhasilan tersebut, yaitu sebab yang sesuai dengan tuntutan
hukum atau sunnatullah yang berlaku.
Dalam kenyatannya tidak semua sebab-sebab dapat diketahui manusia dsn tidak
semua sebab dapat terjangkau oleh kemampuan akalnya. Agaknya di sinilah akal
memegang peranan penting. Semakin cerdas akal manusia semakin banyak pula
alternatif yang dapat dikuasaimya dan semakin tampak fungsi kebebasan yng
dimilikinya (Arbiyah Lubis, 1993: 126-127)
Gambaran
yang kedua yang membatasi kebebasan manusia adalah sebab-sebab alami berupa
kekuatan alam yang tidak dapat dikuasai manusia. Abduh menggambarkan peristiwa
alam tersebut dengan terjadinya angin ribut yang menenggelamkan kapal yang
membawa barang dagangan dan ternak yang mati karena disambar petir. Dalam
peristiwa tersebut seakan tampak ketidakberdayaan manusia untuk mengetahui dan
menguasai peristiwa alam tersebut menyebabkan manusia tidak dapat mewujudkan
apa yang dikehendakinya, atau dengan kata lain, peristiwa alam tersebut
membatasi kemampuan dan kebebasan serta kekuasaan yang dimilikinya.
Daya
dan kehendak manusia dalam mewujudkan perbuatan dapat dipahami melalui
pendapatnya tentang kasb (kebabasan
memilih perbuatan), yakni daya dan kehendak manusia sendiri. Jika daya dan
kehendak tersebut tergantung pada yang lain, maka kebebasan memilih tidak akan
dapat diwujudkan. Dari sisi ini, Albert Houraini menilai Abduh sebagai seorang
yang cenderung kepada pendapat Mu’tazilah. Paham ini menurutnya diperoleh Abduh
dari Jamaluddin al-Afghani yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Ibn Sina.
Para penulis lain memberikan penilaian yang hampir sama dengan penilaian yang
diberikan oleh Hourani di atas. Akan tetapi, mereka lebih menekankan pada
penilaian tersebut dari segi perbedaan konsep kasb antara Abduh dengan al-Asy’ari. Dari perbedaan yang demikian
akhirnya mereka berpendapat bahwa konsep kebebasan manusia yang dianut Abduh
banyak persamaannya dengan yang terdapat dalam paham Mu’tazilah.
Masalah
qada’ dan qadar, menurut Abduh
adalah meyakini bahwa setiap peristiwa dilatarbelakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu
keteraturan, sehingga peristiwa yang telah berlalu dapat dipelajari. Sumber
dari segala sebab tersebut menurutnya adalah Allah yang mengatur segala sesuatu
menurut kebijaksanaan-Nya. Ia menjadikan setiap peristiwa menurut hukumnya yang
tersendiri yang merupakan komponen dari suatu system yang tidak beerubah-ubah.
Itulah yang disebutnya dengan sunnatullah, dan manusia tidak dapat
melepaskan diri dan harus tunduk pada setiap sunnah yang ditetapkan oleh Allah.
Dengan demikian, keyakinan yang kuat terhadap sunnatullah bukan berarti
membelekangi kekuasaan Allah yang mnciptakan sunnah tersebut.
Tentang pendapatnya seputar sifat-sifat Tuhan, Abduh
menekankan dua hal, yaitu apakah sifat Tuhan merupakan sesuatu yang ditambahkan
pada zat, atau zat adalah sifat. Dalam hal ini, Harun Nasution, setelah
meneliti buku Hashiat ‘ala al-Syarh al-Dawwani li al-Aqaid al-‘Adudiyat dan
Risalat al-Tauhid, menyimpulkan bahwa Abduh lebih dapat digolongkan ke
dalam kelompok nafy al-shifat. Kesimpulan tersebut bukan didasarkan pada
keterangan yang tegas dari Abduh, namun dari kritik yang dilemparkan kepada
pendapat para Mutakallimin, antara lain al-Asy’ari, sebagai penganut paham musbit
al-shifat. Di samping itu, penegasan atau keterangan yang bersifat menopang
terhadap pendapat para filsuf yang pada umumnya meniadakan sifat-sifat Tuhan,
dalam arti sebagai sesuatu yang ditambahkan pada zat, dan bersifat qadim,
sama halnya dengan zat.
Salah satu kritik yang dilontarkannya adalah terhadap
argument yang dikemukakan oleh para mutakallimin tentang hajatnya Tuhan pada
sifat untuk kesempurnaan-Nya. Bantahan yang dikemukakan oleh Abduh tampaknya
senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abu al-Huzail yang mengatakan
bahwa zat manusialah yang berhajat kepada sifat, ilmu misalnya, karena tidak
sempurnanya zat manusia tersebut. Kalau Tuhan uga demikian keadaannya, maka
Tuhan merupakan zat yang tidak sempurna. Ia juga memerlukan ilmu sebagai sifat
yang berada di luar zat-Nya. Seperti kata Abduh, kalau Tuhan masih memerlukan
sesuatu yang lebih tinggi dari zat Tuhan. Hal itu menunjukkan
ketidaksempurnaan-Nya. Dengan demikian, baik Abu al-Huzail maupun Abduh,
keduanya mengemukakan argumentasi yang sama dalam menolak pendapat salah satu
alasan yang dikemukakan oleh golongan shifatiyat dalam mendukung
keberadaan sifat Tuhan yang kekal di samping zat.
a. Kedudukan akal
dan fungsi wahyu
ada dua persoalan pokok yang menjadi focus pemikiran Abduh,
sebagaimana diakuinya, yaitu:[10]
1)
membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu tauhid yang
menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana hak salaf al-ummah (ulama
sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan, yaitu memahami
langsung dari sumber pokoknya Al-Qur’an.
2)
Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang
digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah ataupun dalam
tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok yang menjadi focus pemikiran Abduh tampaknya
muncul ketika ia meratapi perkembangan umat islam pada masanya. Sebagaimana
dijelaskan Sayyid Quthb (I. 1906), kondisi umat islam saat itu dapat
digambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat
pintu Ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat Allah atau
meng-istinbat-kan hukum-hukum karena mereka telah merasa cukup dengan hasil
karya para pendahulunya yang hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang
berdasarkan khurafat-khurafat”.[11]
Atas dasar kedua focus pikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan
yang besar pada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya, sehingga
Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberikan kekuatan yang lebih
tinggi pada akal dari pada Mu’tzilah.[12]
Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
1) Tuhan dan sifat-sifatnya.
2)
Keberadaan hidup di akhirat.
3)
Keberadaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal
Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada tidak
mengenal Tuhan dan perbuatan Jahat.
4)
Kewajiban manusia mengenai jiwa.
5)
Kewajiban Tuhan untuk berbuat baik dan menjahui
perbuatan jahat untuk kebahagiaanya di akhirat.
6)
Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.[13]
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh
tentang peranan akal, dapat diketahui pula fungsi wahyu baginya, wahyu adalah
penolong (al-mu’in). kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi
akal manusia. Menurutnya , wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan
keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar
prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang
Tuhan dan sifat-sifatnya dan mengetahui tentang beribadah serta berterima kasih
kepada Tuhan.[14]
Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi,
yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar
islam. Islam seseorang tidak sempurna apabila tidak di dasarkan pada akal.
Islam menurut agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antar akal dan agama.
menurutnya, kepercayaan pada ekstensi Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu yang
dibawah nabi tidak mungkin bertentangan dengan akal. Apabila ada tentang
keduanya terdapat pertentangan, menurutnya terdapat penyimpangan dalamntataran
interpretasi sehingga diperlukan interprtas lain yang mendorong pada
penyesuaian.[15]
b. Kebebasa Manusia
dan Fatalism
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai
kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar dalam alami yang harus ada dalam
diri manusia. Jika sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia
lagi, melainkan mahluk lain. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat
perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusannya dengan kemauannya
yang mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.[16]
Karena manusia merupakan hukum alam dan sunnatullah mempunyai
kebebasan dalam kemauanya dan daya untuk mewujudkan kemauan, paham perbuatan
yang dipaksakan atau manusia atau jabariah tidak sejalan dengan pandangan hidup
Muhammad Abduh. Menurutnys, manusia adalah manusia karena ia mempunyai kemauan
berfikir dan kebebasan dalam memilih. Manusia tidak memiliki kebebasa yang
absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan mutlak
sebagai orang yang angkuh.[17]
c. Sifat-Sifat
Tuhan
Dalam Risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah
apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lan, ia menjelaskan bahwa hal
itu terletak di luar kemampuan manusia untuk mengetahuinya.[18]
Walaupun demikian, Harun Nasution melihat Abduh cenderung pada pendapat bahwa
sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak tegas mengatakannnya.[19]
d. Kehendak Mutlak
Tuhan
Krena yakin akan kebebasan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak
bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendaknya dengan memberi kebebasan dan
kesanggupan kepada manusia yang secara bebas dapat dipergunakannya dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatanya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah
secaa umum. Ia tidak mungkin enyimpang dari sunatullah yang telah
ditetapkannya. Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauanya telah
membatasi kehendaknya dengan sunnatullah yang diciptakannya untuk
mengatur alam.[20]
e. Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar pada akal dan kebebasan manusia, Abduh
mempunyai kecenderungan untuk memahami dan
meninjau alam bukan hanya dari segi kehendak mutak Tuhan, melainkan juga
dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini
diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang
membawa manfaat bagi manusia. Mengenai keadilan Tuhan, ia memandang tidak hanya
dari segi kemahasempurnaanya, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia.
Sifat ketidakadilan tidak dapat diberiakn kepada Tuhan karena ketidakadilan
tidak sejalan dengan kesempuraan aturan alam semesta.[21]
f. Antropomofisme
Karena Tuhan hanya termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat
menerima paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi
kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa ia tidak mungkin esensi dan
sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh mahluk di alam ini. Kata-kata
wajah, tangan, duduk dan sebagainya harus dipahami sesuai dengan pengertian
yang diberikan orang Arab kepadanya. Dengan demikian, kata al-arsy dalam
Al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan, kata al-kursy berarti pengetahuan.[22]
g. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya, apakah Tuhan yang
bersifat rohani itu dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya pada hari
perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (Keyakinan
bahwa tidak ada satupun dari mahluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan
bahwa Tuhan tidak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata.
Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di
akhirat.[23]
i.
Perbuatan
Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan
yang wajib, Abduh epaham dengan Mu’tazilah bahwa mengatakan bahwa wajib bagi
Tuhan untuk berbuat yang terbaik bagi manusia.[24]
2. Sayyid Ahmad Khan
a. Riwayat Sayyid
Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu
keterangan, ia berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Melalui
Fatimah dan Ali. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman
alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, Ahmad Khan mendapat didikan tradisional
dalam pengetahuan agama. Dia belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Ia
rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.[25]
Ketika berusia delapan belas tahun, ia bekerja pada Serikat India Timur.
Kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali ke Delhi
dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar.[26]
Di kota Delhi
inilah ia dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan
bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuka muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab
Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan
Nawab Aminuddin. Semasa di Delhi, ia mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid. Pada tahun 1855, ia
pindah ke Bijnore. Ditempat ini, ia tetap mengarang buku-buku penting Islam di
India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi
yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat
keadaan rakyat Delhi, ia sempat berfikir untuk meninggalkan India menuju Mesir,
tetapi ia sadar bahwa ia harus memperjuangkan umat Islam India Agar menjadi
maju.[27]
Ia berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang inggris
dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir,
tetapi ia menolaknya. Pada tahun 1878 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC)
di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk
memajukan umat Islam India.[28]
b.
Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad
Khan mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesir, setelah Abduh
berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang
mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai
penganut ajaran Islam yang taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia
berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal terbatas.[29]
Keyakinan
kekuatan dan kebebasan akal menjadikan Khan percaya bahwa manusia bebas untuk
menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia mempunyai
faham yang sama dengan faham Qodariyah. Menurutnya,
manusia telah dianugerahi Tuhan sebagai macam daya, di antaranya adalah daya
brpikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya.[30]
Karena kuatnya kepercayaan terhadap hukum alam dan kerasnya mempertahankan
konsep hukum alam, ia dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan, ketika
datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu.
Sebagai tanggapan atas keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut,
Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dariyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).
Sejalan dengan faham Qodariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham taklid. Khan berpendapat bahwa umat
Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung
peradaban Islam klasik masih melenakan mereka sehingga tidak menyadari bahwa
peradaban baru telah timbul di Barat. Peradaban baru ini timbul dengan berdasar
pada ilmu pengetahuan dan teknologi, dan iilah penyebab utama bagi kemajuan dan
kekuatan orang Barat.[31]
Selanjutnya,
Khan mengemukakan bahwa tuhan telah menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi
setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah. Menurutnya Islam adalah
agama yang paling sesuai dengan hukum Alam, karena hukum alam adalah ciptaan
Tuhan dan Al-Quran adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan
dan tidak ada pertentangan.[32]
Sejalan dengan
keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, Khan tidak mau pemikirannya
terganggu otoritas Hadis dan fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritik
rasional. Ia pun menolak semua yang bertenangan dengan logika dan hukum alam.
Ia hanya mau mengambil Al-Quran sebagai pedoman bagi islam, sedangkan yang lain
hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting.[33]
Alasan penolakannya terhadap Hadis adalah karena Hadis berisi moralitas sosial
dari masyarakat islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadis tersebut
dikumpulkan. Sedangkan hukum fiqh, menurutnya, berisi moralitas masyarakat
berikutnya sampai saat timbulnya madzab-madzab. Ia menolak taklid dan membawa Al-Quran untuk menguraikan relevansinya dengan
masyarakat baru pada zaman itu.[34]
Sebagai konsekuensi
dari penolakannya terhadap taklid,
Khan memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan
pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang
senantiasa mengalami perubahan.[35]
3.
Muhammad Iqbal
b.
Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir
di Sialkot pada tahun 1876. Ia berasal
dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya
bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh dalam beragama.[36]
Guru pertama Iqbal adalah ayahnya sendiri kemudian ia dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Quran.
Setelah itu, ia dimasukkan Scottish
Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, ia diberi pelajaran Agama,
bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Silkot, ia
pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government Colege. Di sini ia bertemu
dengan Thomas Arnold, seorang orientalis menjadi guru besar dalam bidang
filsafat pada universitas tersebut.[37]
Pada tahun 1905
setelah mendapat gelar M.A di Government College Iqbal pergi ke Inggris untuk
belajar filsafat pada Universitas
Cambridge. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Di universitas
ini, ia memperoleh gelar Ph. Di dalam tasawuf
dengan disertasinya yang berjudul The
Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[38]
Iqbal tinggal
di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, ia menjadi
advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Though in Islam adalah kumpulan dari
ceramah-ceramah sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya terbesar dalam bidang
filsafat.[39]
Pada tahun
1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjdi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada
tahun 1931 dan tahun 1932, ia ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang
membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, ia diundang
ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun
1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada
tahun itu pula, dan ia meninggal pada tanggal 20 April 1935.[40]
c.
Pemikiran Kalam
Muhammad Iqbal
Dibandingkan
sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih terkenal sebagai seorang filosof
eksistensialis. Oleh karena itu, agak sulit untuk menemukan pandangannya
mengenai wacana-wacana kalam klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan
tuhan, perbuatan manusia, dan kewajiban-kewajiban Tuhan. Itu bukan berarti
bahwa dia sama sekali tidak menyinggung ilmu kalam. Bahkan, ia sering
menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah Islam.
Sebagai seorang
pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat Islam untuk melakukan pembaharuan agar
keluar dari kemundurannya. Kemunduran umat Islam, katanya, disebabkan kebekuan
umat Islam dalam pemikiran dan ditutupnya pintu Ijtihad. Mereka seperti kaum konservatif, menolak kebiasaan
berfikir rasional kaum Mu’tazilah karena hal tersebut dianggap membawa
desintegrasi umat Islam dan membahayakan kestabilan politik mereka.[41]
Hal inilah yang dianggapnya sebagai penyimpangan dari semangat lslam, semangat dinamis dan kreatif. Islam
tidak statistetapi dapat disesuaikan dengan perkembangn zaman. Pintu ijtihad
tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri dari dinamika yang harus
dilambangkan dalam Islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat pada
prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat unruk merespon kebutuahan
individu dan masyarakat karena lslam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.[42]
Islam dalam
pandangan iqbal menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam bersifat statis.
Islam , menurutnya mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak
perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[43]
Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan
perubahan.
Besarnya
penghargaan iqbal terhadap gerak dan perubahan ini, membawah perubahan yang
dinamis pada al-Qur’an dan hukum islam. Tujuan diturunkannya al-Qur’an,
menurutnya untuk membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan
dan menjabarkan nash-nash al-Qur’an yang masih global dalam realitas kehidupan
dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah.
Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh iqbal disebut sebagai
prinsip gerak dalam struktur islam.[44]
Oleh karena itu
untuk mengembalikan semangat dinamika islam, dalam rangka membuang kekakuan dan
kejumudan hukum islam, ijitihad harus dialihkan menjadi ijtihat kolektif.
Menurut iqbal, peralihan kekuasaaan ijtihad individu yang mewakili mazhab
tertentu kepada lembaga legislative islam adalah satu-satunya bentuk yang
paling tepat untuk mengerakkan spirit dalam sistem hukum islam yang selama ini
hilang dari umat islam[45]
dan menyerukan kepada kaum muslim agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut
hasil-hasil rasionalisme tersebut.[46]
a)
Hakikat Teologi
Secara umum, ia melihat teologi sebagai
ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan
inklusivistik). Di dalamnya memuat jiwa yang bergerak berupa “persamaan,
kesetiakawanan”, dan “kebebasmerdekaan”.[47]
Pandangan tentang ontology teologi membuatnya telah berhasil melihat adanya
anomaly (penyimpangan) yang melekat pada literature ilmu kalam klasik. Teologi
Asy’ariah mengunakan cara dan pola pikir Yunani untuk mempertahankan dan
mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jahu
bersandar kepada akal sehingga mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah
pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman konkret
merupakan kesalahan besar.[48]
b)
Pembuktian Tuhan
Dalam pembuktian ekstensi Tuhan, iqbal
menolak argument kosmologis[49]
ataupun ontologis.[50]
Ia juga menolak argument teologis[51]
yang berusaha membuktikan ekstensi Tuhan yang mengatur ciptaan-nya dari sebelah
luar. Meskipun demikian, ia menerima landasan teologis yang imanen (tetap ada).
Untuk menopang hal ini iqbal menolak pandangan yang statis matter serta
menerima pandangan whitehead sebagai “struktur kejadian” dalam aliran dinamis
yang tidak berhenti. Karekter nyata konsep tersebut ditemukan iqbal dalam
“jangka waktu murni”-nya Bergson,[52]
yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam “jangka waktu murni” ada
perubahan, melainkan tidak ada suksensi (penggantian). Kesatuanya seperti kuman
yang di dalamnya terdapat pengalaman nenek moyang terhadap individu, bukan
sebagai suatu kumpulan, tetapi sebagai suatu kesatuan yang di dalamnya setiap
pengalaman menyerap keseluruhannya. Dari diri individu, “jangka waktu murni”
ini kemudian ditransfer kea lam semesta dan membenarkan ego mutlak. Gagasan
inilah yang “dibicarakan“ Iqbal ke dalam Al-Qur’an. Jadi, Iqbal telah
menafsirkan Tuhan yang imanen bagi alam.[53]
c) Jati diri
manusia
Paham dinamisme Iqbal berpengaruh benar
terhadap jati diri manusia. Penelusuran tentang pendapatnya tentang persoalan
ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran
filosofisnya.[54]
Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui
kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan
sebaliknya, yaitu melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi
yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah.[55]
Pada hakikatnya, menafikan diri bukan ajaran islam karena hakikat hidup adalah
bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat khudi-nya tampak merupakan
reaksi terhadap kondisi umuat islam ketika itu telah membawa mereka jauh dari
tujuan dan maksud islam yang sebenarnya. Dengan ajaran khudi-nya, ia mengemukakan
pandangannya yang dinamis tentang kehidupan dunia.
d)
Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh
kuliahnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang
bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan
Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang penuh berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusi
dari kondisi primitive yang dikuasai hawa nafsu naluria pada pemilikan
kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi
kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulny ego terbatas
yang memiliki kemampuan untuk memilih”. “Allah telah menyerahkan tanggung jawab
yang penuh resiko ini, menunjukkan kepercayaannya yang besar pada manusia.
Sekarang, kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini.
Pengakuan terhadap kemandirian (manusia) melibatkan pengakuan terhadap semua
ketidaksempurnaan yang timbul dari keterbatasan kemandirian.[56]
e)
Surga dan neraka
Surga dan neraka, menurut Iqbal merupakan
keadaan-keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam
Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu
sifatnya. Neraka menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala
dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai
kegagalan manusia. Surge adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam
mengatasi berbagai dorongan yang menuju pada perpecahan. Tidak ada ketukan
abadi dalam islam. Neraka sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bukanlah kawah
tempat penyiksaan abadi yang di sediakan Tuhan. Ia merupakan pengalaman
korektif yang dapat memperkeras ego agar lebih sensitive terhadap tipuan angina
sejuk dari kemahamurahan Allah. Surga juga bukan merupakan tempat berlibur. Kehidupan
itu hanya satu dan berkesinambungan.[57]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat
kami simpulkan bahwa:
1.
Syekh Muhammad Abduh (1894-1905): Pemikiran-pemikiran kalamnya:
a. Kedudukan akal
dan fungsi wahyu
b. Kebebasan manusia dan fatalism
c. Sifat-sifat Tuhan
d. Kehendak mutlak Tuhan
e. Keadilan Tuhan
f. Antropomorfisme
g. Melihat Tuhan
h. Perbuatan Tuhan
2.
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi (1817-1898): Pemikiran kalamnya:
a.
Segala sesuatu yang diukur dengan kritik
nasional
b.
Menolak semuanya yang bertentangan dengan
logika dan hukum alam
c.
Sebagai konsekwensi dari penolakannya terhadap
taklid, Khan memmandang perlu diadakanya ijitihad-ijtihad baru menyesuaikan
pelaksanaan ajaran-ajaran islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang
senantiasa mengalami perubahan.
3.
Muhammad Iqbal (1876-1938): Pemikiran kalamya:
a.
Hakikat teologi
b.
Pembuktian Tuhan
c.
Jati diri manusia
d.
Dosa
e.
Surge dan neraka
B.
Saran
Kami
selaku penulis menyadari seutuhnya banwa makalah yang kami buat ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami minta kritik dan saran dari pembaca agar kami
dapat memperbaikinya di lain kesempatan.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak,
Abdul, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2012.
Assegaf,
Abd Rahman, Aliran Pemikiran Pendididkan Islam, Jakarta, PT.
Rajagrafindo Persada, 2013.
Nasution
Harun, Teologi Islam, Jakarta, UI Press, 1986.
Amin
Abdullah, Falsafah Kalam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.
Josep
Iskandar. Pdf
[1] Quraish
Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994,
hlm. 12; Versi lain mengatakan bahwa Abduh lahir di Mesir Hilir dan akhirnya
menetap di Mahallah Nashr setelah lari dari ancaman para penguasa Muhammad
‘Ali. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 68. Dalam Abdul Rozak.
[2] Nasution, loc.
cit. Dalam Abdul Rozak.
[3] Abd Rahman
Assegaf,Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Rajagrafindo
Persada, 2013, hlm. 149-151.
[4] Harun
Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’takzilah (Jakarta: UI
Press, 1987, cet, I, hlm, 11) Dalam Josep Iskandar. pdf, hlm 22.
[5] Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm, 225) Dalam Josep
Iskandar. Pdf, hlm, 22.
[6] Albert Hourni,
Arabic Thought in the Liberal Age: 1798-1939, Cambridge University Press,
1993, hlm. 131. Dalam Abdul Rozak.
[7] Syihab, op.
cit., hlm. 13. Dalam Abdul Rozak.
[8] Hourain, op.
cit., hlm. 132; Shihab, op. cit., hlm. 14. Dalam Abdul Rozak.
[9] Nasution, op. cit.,
hlm. 61; Shihab, loc. cit., Haurani, op. cit., hlm. 133. Dalam
Abdul Rozak.
[10] N. Qurais
Shihab, Study Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994,
hlm. 19. Dalam Abdul Rozak.
[11] Sayyid Quthub,
Khasha’ish At-Tashawwur Al-Islam, t.t., hlm. 19. Dalam Abdul Rozak.
[12] Harun
Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1987, hlm. 57.
Dalam Abdul Rozak.
[13] Nasution,
Pembaharuan …, op. cit., hlm. 74. Dalam Abdul Rozak.
[14] Nasution,
Muhammad …, op. cit., hlm. 58-61. Dalam Abdul Rozak.
[15] Patrick
Bannerman, Islam in Perspective: a Guide to Islamic Society, Politics and
Law, Routledge London and New York for the Royal Intitute of International
Affaris, London, hlm. 132. Dalam Abdul Rozak.
[16] Nasution,
Muhammad …, op. cit., hlm. 65. Dalam Abdul Rozak.
[17] Ibid.,
hlm. 66. Dalam Abdul Rozak.
[18] Ibid.,
hlm. 71. Dalam Abdul Rozak.
[19] Ibid.,
Dalam Abdul Rozak.
[20] Ibid.,
hlm. 75 dan 77. Dalam Abdul Rozak.
[21] Ibid.,
hlm. 78-79. Dalam Abdul Rozak.
[22] Ibid.,
80. Dalam Abdul Rozak.
[23] Ibid. Dalam
Abdul Rozak.
[24] Ibid.,
hlm. 85. Dalam Abdul Rozak.
[25] Nasution, Pembaharuan
…, op. cit., hlm. 165. Dalam Abdul Rozak.
[26] Ibid.
Dalam Abdul Rozak.
[27] Mukti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Mizan, Bandung, 1993, hlm.
65-66. Dalam Abdul Rozak.
[28] Nasution, Pembaharuan
…, op. cit., hlm. 169-170. Dalam Abdul Rozak.
[29] Ibid.,
hlm. 167. Dalam Abdul Rozak.
[30] Ibid.,
hlm. 168. Dalam Abdul Rozak.
[31] Ali, op.
cit,. hlm. 70. Dalam Abdul Rozak.
[32] Nasution, Pembaharuan
…, op. cit., hlm. 168. Dalam Abdul Rozak.
[33] Ibid.,
hlm. 169. Dalam Abdul Rozak.
[34] Ali, op.
cit., hlm. 20. Dalam Abdul Rozak.
[35] Nasution, op.
cit., hlm. 169 dan 171. Dalam Abdul Rozak.
[36] Khalifah Abd
Hakim, “Renainsance in Indo-Pakistan” dalam wd. M.M. Syarif (Ed.), A
History of Muslim Philosofi, Weibaden, Otto Harrssowitz, 1966, hlm. 1614.
Dalam Abdul Rozak.
[37] Abdul Wahab
Azzam, Iqbal: Siratuh wa Falsafah wa Syi’luh, Terj. Pustaka, Bandung,
1985, hlm. 17. Dalam Abdul Rozak.
[38] Nasution, Pembaharuan
…, op. cit., hlm. 190. Dalam Abdul Rozak.
[39] Azzam, op.
cit., hlm. 29. Dalam Abdul Rozak.
[40] Ibid.,
hlm. 56. Dalam Abdul Rozak.
[41] Nasution, op.
cit., hlm. 191. Dalam Abdul Rozak.
[42] Marshal G.S.
Hudgson, The Venture of Islam, Chichago Press, Chichago, 1974, hlm. 39.
Dalam Abdul Rozak.
[43] Nasution, op.
cit., hlm. 192. Dalam Abdul Rozak.
[44] Muhamad Iqbal,
The Reconstruction of Religion Thought in Islam, Kitab Bravan, New
Delhi, 1981, hlm. 92. Dalam Abdul Rozak.
[45] Ibid.
hlm. 173. Dalam Abdul Rozak.
[46] Fazlur Rahman,
Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Pustaka, Bandung, 1984, hlm. 324. Dalam
Abdul Rozak.
[47] Iqbal, op.
cit., hlm. 154. Dalam Abdul Rozak.
[48] Amin Abdullah,
Falsafa Kalam, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 1995, hlm. 86-87.
[49] Harun Nasution
FIlsafat Agama,Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 50. Dalam Abdul Rozak.
[50] Ibid.,
hlm 47. Dalam Abdul Rozak.
[51] Ibid., hlm.
55. Dalam Abdul Rozak.
[52] Heri Hamersma,
Tokoh-tokoh Filsafat,Gramedia, Jakarta, 1984, hlm.104. Dalam Abdul
Rozak.
[53] Taufik Adnan
Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir dan Kontekstual Al-Qur’an; sebuah
kerangka konseptual, Mizan, Bandung, 1989, hlm 21-22. Dalam Abdul Rozak.
[54] Hakim, op.
cit. Dalam Abdul Rozak.
[55] Azzam, op.
cit., hlm. 56. Dalam Abdul Rozak.
[56] H.A.R. Gibb, Aliran-aliran
Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein,Rajawali Press, Jakarta, 1995,
hlm. 131-132. Dalam Abdul Rozak.
[57] Ibid.,
hlm. 133-134. Dalam Abdul Rozak.
Izin copy bg buat tugas
BalasHapus