Pemikiran Kalam Ulama Modern


PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen pengampu: Ahmad Sulton S.Pd.I M.Pd.I.




OLEH :
NADHIFATUL KHOIRI 15051024

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
 FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
TAHUN 2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Allah yang Maha Esa yang telah memberikan kami nikmat yang banyak sehingga kami mampu menyusun makalah “PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN”  ini.
Makalah kami kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah ILMU KALAM, dalam penyusunan makalah ini kami berusaha untuk  dapat menyelesaikan sebaik-baiknya dan kami juga berterimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, jika dalam makalah ini terdapat kesalahan kata maupun penulisan kami minta kritik dan saranya sehingga kami dapat memperbaikinya di lain kesempatan.





Sukodadi, 05 Oktober 2016
Penulis





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR  …………………………………………………….……….…...i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….…………..ii
BAB I PENDAHULUAN. …………………………………………………….….…….1
A.    Latar Belakang...…………………………………………………………...........……....1
B.     Rumusan Masalah..……………………………………………....……..........….…...1
C.     Tujuan ..………………………………………………………………..........….…....1
BAB II PEMBAHASAN ..…………..…………………..………………...….………..2
A.    Muhammad Abduh…...….………..……………………………………..........……..2
B.     Ahmad Khan…………………..……………………...……………….........…….4
C.     Muhammad Iqbal ……..…………….…...……..………………………….........…..7
BAB III PENUTUP. …………………………………………………………....…......18
A.    Kesimpulan.………………………………………………...………………................18
B.     Saran ………………………………………………………………….…..........…..18
DAFTAR PUSTAKA  ………………………...………………………………………19



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan islam dalam teori dan praktik selalu mengalami perkembangan, hal ini di sebebkan karena pendidikan islam secera teoritik memilik dasar dan sumber rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar, melainkan juga wahyu. Kombinasi nalar dengan wahyu ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal manusia dan tuntunan firman Allah terkait dengan masalah pendidikan. Kombinasi ini menjadi ciri khas pendidikan islam yang tidak di miliki oleh konsep pendidikan islam pada umumnya yang hanya mengunakan kekuatan akal dan budaya manusia.
Dalam konteks ini, kami bermaksud untuk mengawali proses keluar dari kemelud tersebut melalui pebggalian khazanah intelektual tokoh muslim yang terkait dengan pendidikan, agar dapat di telaah ulang dan di jadikan sebagai bahan diskusi untuk membangun kemajuan pendidikan islam di masa datang. Terlalu banyak tokoh, memang, namun dalam tulisan yang amat terbatas ini kami mengambil beberapa nama yang bias di kategorikan berada pada masa klasik, tengah dan modern. Al-Qabisi merupakan tokoh pendidikan awal yang perlu di kuak khazanah pemikiranya. Begitu pula halnya dengan ibnu sina, Al-Ghazali, Ibnu khaldun yang merupakan tokoh abad tengah amat penting untuk di ketahui ide-ide mereka seputar pendidikan.. memasuki masa modern, beberapa nama seperti Muhammad Abduh, Muhammad Athiyah al-Abrazy, dan Fazlur Rahman, di harapkan mampu memberikan “pencerahan” dalam pemikiran pendidikan islam saat ini. 
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Riwayat Hidup dan Pemikiran Kalam Muhammad Abduh?
2.      Bagaimana Riwayat Hidup dan Pemikiran Kalam Ahmad Khan?
3.      Bagaimana Riwayat Hidup dan Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal?
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk Mengetahui Riwayat Hidup dan Pemikiran Kalam Muhammad Abduh.
2.      Untuk Mengetahui Riwayat Hidup dan Pemikiran Kalam Ahmad Khan.
3.      Untuk Mengetahui Riwayat Hidup dan Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal.

BAB II
PEMBAHASAN
1.         Syekh Muhammad Abduh
a.  Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh – nama lengkapnya Muhammad bin’Abduh bin Hasan Khairullah- lahir di desa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Ia berasal dari keturunan yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Walaupun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[1] Kekerasan yang diterapkan penguasa-penguasa Muhammad ‘Ali  dalam memungut pajak menyebabkan penduduk pindah-pindah tempat untuk menghindarinya. Abduh dilahirkan dalam kondisi yang penuh kecemasan ini.[2]
Kelahiran Abduh bersamaan dengan masa ketidakadilan dan ketidaksamaan di Mesir. Ketika itu, Mesir berada di bawah kekuasaan Muhammad Ali Pasha. Salah satu kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat Mesir waktu itu adalah tingginya pajak tanah. Ia diusir ke Gharbiyah, Mesir, selama 15 tahun karena sikap menentang orang tuanya terhadap pungutan pajak tanah yang dianggapnya terlalu tinggi tersebut. Setelah habis masa tiraninya, orang tuanya mengajak kembali ke kampung halaman dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di desa kelahirannya.[3]
Muhammad Abduh mengawali pendidikannya belajar pelajaran pada umumnya seperti membaca, menulis dan membaca Al-qur’an pada ayahnya di rumah, berkat otaknya yang cemerlang dalam jangka waktu dua tahun ia mampu menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Saat itu ia berusia 12 tahun.[4] Kemudian diusianya yang ke 14 tahun, ia dikirim Ayahnya ke Thanta untuk belajar di masjid al-Ahmadi (al-Jami al-Ahmadi). Di sini di samping melancarkan hafalan Al-Qur’annya, ia juga belajar bahasa Arab dan Fikih.[5]
 Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Tanta tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Akan tetapi, sistem pengajaran di sana sangat menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun di sana , ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani, seperti saudara-saudara serta kerabatnya. Di masjid Ahmadi, ia mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak puas, bahkan membawanya pada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seperti yang diharapkannya. Perasaan demikian berpangkal dari metode pengajaran yang diterapkan di sekolah tersebut mementingkan hafalan tanpa pengertian sama halnya dengan metode pengajaran yang diterapkan di dunia Islam ketika itu. Abduh sebagai seorang yang kritis merasakan tidak efektifnya metode yang demikian. Barangkali ia berpendapat lebih baik tidak belajar daripada menghabiskan waktu menghafal istilah-istilah nahu dan fikih yang sama sekali tidak dipahaminya. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di tempat yang sama. Pada jenjang lanjutan ini Abduh tidak menyukai metode pembelajaran yang diterapkan sehingga ia memilih untuk kembali ke kampung halamannya dan menikah dengan gadis di desanya tersebut dalam usia 16 tahun dan hidup sebagai petani. Semula ia bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya  , tetapi akhirnya ia kembali belajar atas dorongan pamanya, Syekh Darwish, yang banyak memengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya, Abduh berkata , ‘Ia telah membebaskanku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan.[6]
Karena rasa cinta pada ilmu yang dimiliki oleh orang tuanya, maka ia tidak menyetujui langkah yang diambil oleh Abduh. Ia memerintahkan Abduh agar kembali ke Masjid Ahmadi di Thanta dan belajar kembali seperti semula. Meskipun ia mengajukan berbagai alasan, namun sikap tegasnya orang tuanya tidak teratasinya, sehingga akhirnya perintah tersebut terpaksa diturutinya. Pada saat Abduh berada di desanya dan dalam keadaan yang tiada semangat lagi untuk melanjutkan pendidikan, namun di tengah perjalanan pulang, ia berbelok arah ke tempat lain, ke sebuah desa yang sudah dikenalnya, tempat tinggal salah seorang paman orang tuanya yang bernama Syaikh Darwish, penganut Tarekat Syaziliyah dan bermazhab Maliki. Syaikh Darwish kelihatannya tidak hanya menerimanya sebagai seorang tamu, tetapi lebih dari itu, ia bersikap sebagai guru dan pembimbing yang dapat memahami konflik yang sedang dialami oleh Abduh. Syaikh Darwish memberikan motivasi yang sangat berharga kepada Abduh untuk bersedia melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi. Sesuai dengan ke-Islaman pamannya, yaitu Islam sufi, maka Darwah juga mengenalkan ilmu agama dan menyarankannya untuk bergabung dengan kelompok sufi. Dengan saran pamannya tersebut ternyata mampu membangkitkan semangat keilmuan Abduh hingga membawanya pada penerangan spiritual. Ia bisa merasakan kenikmatan bersatu dengan Tuhan (wajibal wujud). Berdasarkan berbagai sumber, pengalaman Abduh dalam dunia sufi tersebutlah yang membentuk sikap penentangannya terhadap taqlid yang membabibuta.
Setelah merampungkan studinya di bawah bimbingan pamanya, Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Febuari 1866.[7]  Pada tahun 1871, Jamaludin Al-Afghani (1839-1897) tiba di mesir. Saat itu, Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar. Kehadirannya disambut Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya. Untuk selanjutnya, ia menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Lalu, Al-Afghani yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang sosial dan politik. Artikel-artikel pembaruanya banyak dimuat di surat kabar Al-Ahram di Kairo.[8]
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar “Alim”, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, kemudian di Dar Al-Ulum dan di rumahnya. Pada saat Al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karenah di tuduh mengadakan gerakan penentang terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga dipandang ikut campur di dalamnya. Oleh karena itu, ia dibuang keluar kota Kairo. Pada tahun 1880 ia diperbolehkan kembali ke ibu kota kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir, Al-Waqa’i Al-Mishriyyah. Pada waktu bersamaan, kesadaran nasional Mesir mulai tampak. Di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping berita-berita resmi.[9]
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’i dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut, sehingga pemerintah mesir memutuskan untuk mengasingkanya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya. Ia pun memilih Suriah. Di Suriah, ia menetap selama satu tahun. Kemudian, ia menyusul gurunya, Al-Afghani, yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan surat kabar Al-‘Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam Serta menentang penjajah Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir.Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegagnya sampai ia meninggal dunia tahun 1905.
b.           pemikiran-pemikiran Kalam Muhammad Abduh
Muhammad Abduh berpendapat bahwa umat Islam tidak bisa secara sederhana menyandarkan pada penafsiran teks yang berasal dari ulama ahad tengah, sebaliknya, umat Islam perlu menggunakan akal untuk sejalan dengan perubahan waktu. Ia mengatakan bahwa dalam Islam seseorang tidaklah diciptakan untuk dipimpin oleh sebuah kekangan, namun ia dikaruniai intelek agar dapat dituntun oleh pengetahuan. Menurut Abduh, peran guru adalah untuk menunjukkan manusia kepada kajian. Ia percaya bahwa Islam mendorong manusia untuk melepaskan diri dari nenek moyangnya dan bahwa Islam memarahi tradisi meniru seperti budak. Ia mengatakan bahwa dua kepemilikan terbesar terkait dengan agama adalah bahwa manusia dikaruniai dengan kemerdekaan atas kehendak dan kebebasan berpikir dan berpendapat. Dengan bantuan alat tersebut manusia bisa memperoleh kebahagaiaan. Ia percaya bahwa perkembangan peradaban Barat di Eropa adalah didasarkan pada dua prinsip tersebut. Ia berpendapat bahwa bangsa Eropa bangkit untuk bertindak setelah banyak dari kalangan mereka mampu melaksanakan pilihan dan mencari fakta dengan akal mereka.
Lawan Abduh menuduhnya sebaga faktor, namun para pendukungnya menyebutnya sebagai orang bijak, pembaru agama dan pemimpin pembaru. Ia secara konvensional dianugerahi julukan Ustad al-Imam dan al-Syaikh al-Mufti. Dalam karya tulisnya, beliau menyatakan bahwa Tuhan melakukan pendidikan kemanusiaan sejak kanak-kanak, lalu remaja dan dewasa. Menurutnya, islam adalah satu-satunya agama yang mrmiliki dogma yang bisa dibuktikan dengan akal pikiran. Abduh tidak mendukung untuk kembali kepada tahap perkembangan awal Islam. Ia menentang poligami dan berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kebiasaan kuno. Ia percaya bahwa Islam membebaskan manusia dari perbudakan, memperlakukan hak yang sama pada semua manusia, menghapus monopoli ulama’ dalam penafsiran agama dan menghilangkan diskriminasi ras serta paksaan terhadap agama.
Abduh berupaya keras untuk mengkampanyekan hubungan harmonis antara Sunni dengan Syi’ah. Secara umum ia menyeru pada persaudaraan antara seluruh aliran pemikiran dalam Islam. Walaupun begitu, ia mengkritik perilaku salah seperti tahayyul itu berasal dari tasawuf. Abduh terus-menerus menyeru pada persahabatan lebih baik antara masyarakat beragama. Mengingat bahwa agama kristen adalah agama terbesar kedua di Mesir, maka  ia mencurahkan upayanya secara khusus untuk meningkatkan persahabatn umat Islam dan kaum Kristiani. Ia punya banyak kawan kristiani dan sering berdiri membela pemeluk Koptik. Selama revolusi Urabi sebagian umat Islam mengepung sejumlah penganut Koptik secara keliru sehingga mengakibatkan kemarahan pihak kolonial Eropa.
Pemikiran kalam Abduh meliputi beberapa hal, yaitu masalah perbuatan manusia, qada’ dan qadar , dan sifat-sifat Allah,. Bagi Abduh, manusia adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatannya, karena didukung oleh tiga unsur, yaitu: akal, kemauan dan daya. Ketiganya merupakan ciptaan Tuhan bagi manusia yang dapat dipergunakan dengan bebas (Abduh, Risalah al-Tauhid, 1965:5). Akal dan kebebasan adalah natur manusia yang merupakan yang merupakan keistimewaan yang dimilikinya dan tidak terdapat pada makhluk lain. Kalau salah satu di antara keduanya hilang, maka ia tidak lagi bernama manusia, tapi mumgkin berupa malaikat atau mungkin pula binatang. Kebebasan yang dimaksud Abduh bukanlah tanpa batas atau kebebasan yang bersifat absolut. Batasan dimaksud adalah karena lalai (taqshir) dan karena sebab alam (al-asbab al-kauniyah), yaitu peristiwa alam yang tidak terduga. Manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya, namun kekuasaan Allah vadalah tempat kembali semua yang terjadi. Dalam keterangannya yang lain ia menyatakan bahwa kekuasaan Allah tersebut adalah dalam menciptakan sunnatullah.
Sunnatullah adalah tempat pengembalian semua yang terjadi di alam ini. Tuhan, katanya menjadikan segala sesuatu di atas hukum alam, berupa sebab akibat yang ditetapkan-Nya. Dengan demikian, suatu kegagalan yang disebabkan taqshir terjadi adalah karena manusia tidak memenuhi sebab-sebab yang ditetapkan Tuhan sebagai Sunnatullah yang berlaku di alam ini. Seperti dikatakannya, bahwa berhasil atau tidaknya suatu perbuatan bergantung pada terpenuhi atau tidaknya sebab-sebab yang membawa kepada keberhasilan tersebut, yaitu sebab yang sesuai dengan tuntutan hukum atau sunnatullah yang berlaku. Dalam kenyatannya tidak semua sebab-sebab dapat diketahui manusia dsn tidak semua sebab dapat terjangkau oleh kemampuan akalnya. Agaknya di sinilah akal memegang peranan penting. Semakin cerdas akal manusia semakin banyak pula alternatif yang dapat dikuasaimya dan semakin tampak fungsi kebebasan yng dimilikinya (Arbiyah Lubis, 1993: 126-127)
Gambaran yang kedua yang membatasi kebebasan manusia adalah sebab-sebab alami berupa kekuatan alam yang tidak dapat dikuasai manusia. Abduh menggambarkan peristiwa alam tersebut dengan terjadinya angin ribut yang menenggelamkan kapal yang membawa barang dagangan dan ternak yang mati karena disambar petir. Dalam peristiwa tersebut seakan tampak ketidakberdayaan manusia untuk mengetahui dan menguasai peristiwa alam tersebut menyebabkan manusia tidak dapat mewujudkan apa yang dikehendakinya, atau dengan kata lain, peristiwa alam tersebut membatasi kemampuan dan kebebasan serta kekuasaan yang dimilikinya.
Daya dan kehendak manusia dalam mewujudkan perbuatan dapat dipahami melalui pendapatnya tentang kasb (kebabasan memilih perbuatan), yakni daya dan kehendak manusia sendiri. Jika daya dan kehendak tersebut tergantung pada yang lain, maka kebebasan memilih tidak akan dapat diwujudkan. Dari sisi ini, Albert Houraini menilai Abduh sebagai seorang yang cenderung kepada pendapat Mu’tazilah. Paham ini menurutnya diperoleh Abduh dari Jamaluddin al-Afghani yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Ibn Sina. Para penulis lain memberikan penilaian yang hampir sama dengan penilaian yang diberikan oleh Hourani di atas. Akan tetapi, mereka lebih menekankan pada penilaian tersebut dari segi perbedaan konsep kasb antara Abduh dengan al-Asy’ari. Dari perbedaan yang demikian akhirnya mereka berpendapat bahwa konsep kebebasan manusia yang dianut Abduh banyak persamaannya dengan yang terdapat dalam paham Mu’tazilah.
Masalah qada’ dan qadar, menurut  Abduh adalah meyakini bahwa setiap peristiwa dilatarbelakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan, sehingga peristiwa yang telah berlalu dapat dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut menurutnya adalah Allah yang mengatur segala sesuatu menurut kebijaksanaan-Nya. Ia menjadikan setiap peristiwa menurut hukumnya yang tersendiri yang merupakan komponen dari suatu system yang tidak beerubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan sunnatullah, dan manusia tidak dapat melepaskan diri dan harus tunduk pada setiap sunnah yang ditetapkan oleh Allah. Dengan demikian, keyakinan yang kuat terhadap sunnatullah bukan berarti membelekangi kekuasaan Allah yang mnciptakan sunnah tersebut.
Tentang pendapatnya seputar sifat-sifat Tuhan, Abduh menekankan dua hal, yaitu apakah sifat Tuhan merupakan sesuatu yang ditambahkan pada zat, atau zat adalah sifat. Dalam hal ini, Harun Nasution, setelah meneliti buku Hashiat ‘ala al-Syarh al-Dawwani li al-Aqaid al-‘Adudiyat dan Risalat al-Tauhid, menyimpulkan bahwa Abduh lebih dapat digolongkan ke dalam kelompok nafy al-shifat. Kesimpulan tersebut bukan didasarkan pada keterangan yang tegas dari Abduh, namun dari kritik yang dilemparkan kepada pendapat para Mutakallimin, antara lain al-Asy’ari, sebagai penganut paham musbit al-shifat. Di samping itu, penegasan atau keterangan yang bersifat menopang terhadap pendapat para filsuf yang pada umumnya meniadakan sifat-sifat Tuhan, dalam arti sebagai sesuatu yang ditambahkan pada zat, dan bersifat qadim, sama halnya dengan zat.
Salah satu kritik yang dilontarkannya adalah terhadap argument yang dikemukakan oleh para mutakallimin tentang hajatnya Tuhan pada sifat untuk kesempurnaan-Nya. Bantahan yang dikemukakan oleh Abduh tampaknya senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abu al-Huzail yang mengatakan bahwa zat manusialah yang berhajat kepada sifat, ilmu misalnya, karena tidak sempurnanya zat manusia tersebut. Kalau Tuhan uga demikian keadaannya, maka Tuhan merupakan zat yang tidak sempurna. Ia juga memerlukan ilmu sebagai sifat yang berada di luar zat-Nya. Seperti kata Abduh, kalau Tuhan masih memerlukan sesuatu yang lebih tinggi dari zat Tuhan. Hal itu menunjukkan ketidaksempurnaan-Nya. Dengan demikian, baik Abu al-Huzail maupun Abduh, keduanya mengemukakan argumentasi yang sama dalam menolak pendapat salah satu alasan yang dikemukakan oleh golongan shifatiyat dalam mendukung keberadaan sifat Tuhan yang kekal di samping zat.

a.            Kedudukan akal dan fungsi wahyu
ada dua persoalan pokok yang menjadi focus pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya, yaitu:[10]
1)                  membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu tauhid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana hak salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan, yaitu memahami langsung dari sumber pokoknya Al-Qur’an.
2)                  Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah ataupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok yang menjadi focus pemikiran Abduh tampaknya muncul ketika ia meratapi perkembangan umat islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Quthb (I. 1906), kondisi umat islam saat itu dapat digambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu Ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat”.[11]
Atas dasar kedua focus pikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang besar pada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya, sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberikan kekuatan yang lebih tinggi pada akal dari pada Mu’tzilah.[12] Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
1)      Tuhan dan sifat-sifatnya.
2)      Keberadaan hidup di akhirat.
3)      Keberadaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan perbuatan Jahat.
4)      Kewajiban manusia mengenai jiwa.
5)      Kewajiban Tuhan untuk berbuat baik dan menjahui perbuatan jahat untuk kebahagiaanya di akhirat.
6)      Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.[13]
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal, dapat diketahui pula fungsi wahyu baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Menurutnya , wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifatnya dan mengetahui tentang beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan.[14] Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar islam. Islam seseorang tidak sempurna apabila tidak di dasarkan pada akal. Islam menurut agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antar akal dan agama. menurutnya, kepercayaan pada ekstensi Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu yang dibawah nabi tidak mungkin bertentangan dengan akal. Apabila ada tentang keduanya terdapat pertentangan, menurutnya terdapat penyimpangan dalamntataran interpretasi sehingga diperlukan interprtas lain yang mendorong pada penyesuaian.[15]
b.            Kebebasa Manusia dan Fatalism
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar dalam alami yang harus ada dalam diri manusia. Jika sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi, melainkan mahluk lain. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusannya dengan kemauannya yang mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.[16]
Karena manusia merupakan hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam kemauanya dan daya untuk mewujudkan kemauan, paham perbuatan yang dipaksakan atau manusia atau jabariah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh. Menurutnys, manusia adalah manusia karena ia mempunyai kemauan berfikir dan kebebasan dalam memilih. Manusia tidak memiliki kebebasa yang absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh.[17]
c.            Sifat-Sifat Tuhan
Dalam Risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lan, ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk mengetahuinya.[18] Walaupun demikian, Harun Nasution melihat Abduh cenderung pada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak tegas mengatakannnya.[19]
d.           Kehendak Mutlak Tuhan
Krena yakin akan kebebasan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendaknya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia yang secara bebas dapat dipergunakannya dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah secaa umum. Ia tidak mungkin enyimpang dari sunatullah yang telah ditetapkannya. Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauanya telah membatasi kehendaknya dengan sunnatullah yang diciptakannya untuk mengatur alam.[20]
e.            Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar pada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan  meninjau alam bukan hanya dari segi kehendak mutak Tuhan, melainkan juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang membawa manfaat bagi manusia. Mengenai keadilan Tuhan, ia memandang tidak hanya dari segi kemahasempurnaanya, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak dapat diberiakn kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempuraan aturan alam semesta.[21]
f.            Antropomofisme
Karena Tuhan hanya termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa ia tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh mahluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya harus dipahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya. Dengan demikian, kata al-arsy dalam Al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan, kata al-kursy berarti pengetahuan.[22]
g.            Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya, apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya pada hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (Keyakinan bahwa tidak ada satupun dari mahluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.[23]
      i.               Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh epaham dengan Mu’tazilah bahwa mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang terbaik bagi manusia.[24]
2.    Sayyid Ahmad Khan
a.         Riwayat Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, ia berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Melalui Fatimah dan Ali. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, Ahmad Khan mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Dia belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Ia rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.[25] Ketika berusia delapan belas tahun, ia bekerja pada Serikat India Timur. Kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar.[26]
Di kota Delhi inilah ia dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuka muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan,  dan Nawab Aminuddin. Semasa di Delhi, ia mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid. Pada tahun 1855, ia pindah ke Bijnore. Ditempat ini, ia tetap mengarang buku-buku penting Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat keadaan rakyat Delhi, ia sempat berfikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi ia sadar bahwa ia harus memperjuangkan umat Islam India Agar menjadi maju.[27] Ia berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi ia menolaknya. Pada tahun 1878 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat Islam India.[28]

b.                  Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesir, setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal terbatas.[29]
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan Khan percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia mempunyai faham yang sama dengan faham Qodariyah. Menurutnya, manusia telah dianugerahi Tuhan sebagai macam daya, di antaranya adalah daya brpikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya.[30] Karena kuatnya kepercayaan terhadap hukum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hukum alam, ia dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan, ketika datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dariyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).
 Sejalan dengan faham Qodariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham taklid. Khan berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung peradaban Islam klasik masih melenakan mereka sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru telah timbul di Barat. Peradaban baru ini timbul dengan berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi, dan iilah penyebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang Barat.[31]
Selanjutnya, Khan mengemukakan bahwa tuhan telah menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah. Menurutnya Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum Alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Quran adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.[32]
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, Khan tidak mau pemikirannya terganggu otoritas Hadis dan fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua yang bertenangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya mau mengambil Al-Quran sebagai pedoman bagi islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting.[33] Alasan penolakannya terhadap Hadis adalah karena Hadis berisi moralitas sosial dari masyarakat islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadis tersebut dikumpulkan. Sedangkan hukum fiqh, menurutnya, berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya madzab-madzab. Ia menolak taklid dan membawa Al-Quran untuk menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.[34]
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.[35]

3.                  Muhammad Iqbal
b.                  Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1876. Ia berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh dalam beragama.[36] Guru pertama Iqbal adalah ayahnya sendiri kemudian ia dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Quran. Setelah itu, ia dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, ia diberi pelajaran Agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Silkot, ia pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government Colege. Di sini ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[37]
Pada tahun 1905 setelah mendapat gelar M.A di Government College Iqbal pergi ke Inggris untuk belajar filsafat pada Universitas Cambridge. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Di universitas ini, ia memperoleh gelar Ph. Di dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[38]
Iqbal tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, ia menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Though in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramah sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya terbesar dalam bidang filsafat.[39]
Pada tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjdi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1932, ia ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, ia diundang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan ia meninggal pada tanggal 20 April 1935.[40]
c.         Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih terkenal sebagai seorang filosof eksistensialis. Oleh karena itu, agak sulit untuk menemukan pandangannya mengenai wacana-wacana kalam klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan tuhan, perbuatan manusia, dan kewajiban-kewajiban Tuhan. Itu bukan berarti bahwa dia sama sekali tidak menyinggung ilmu kalam. Bahkan, ia sering menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah Islam.
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat Islam untuk melakukan pembaharuan agar keluar dari kemundurannya. Kemunduran umat Islam, katanya, disebabkan kebekuan umat Islam dalam pemikiran dan ditutupnya pintu Ijtihad. Mereka seperti kaum konservatif, menolak kebiasaan berfikir rasional kaum Mu’tazilah karena hal tersebut dianggap membawa desintegrasi umat Islam dan membahayakan kestabilan politik mereka.[41] Hal inilah yang dianggapnya sebagai penyimpangan dari semangat  lslam, semangat dinamis dan kreatif. Islam tidak statistetapi dapat disesuaikan dengan perkembangn zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri dari dinamika yang harus dilambangkan dalam Islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat unruk merespon kebutuahan individu dan masyarakat karena lslam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.[42]
Islam dalam pandangan iqbal menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam bersifat statis. Islam , menurutnya mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[43] Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan.
Besarnya penghargaan iqbal terhadap gerak dan perubahan ini, membawah perubahan yang dinamis pada al-Qur’an dan hukum islam. Tujuan diturunkannya al-Qur’an, menurutnya untuk membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nash-nash al-Qur’an yang masih global dalam realitas kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh iqbal disebut sebagai prinsip gerak dalam struktur islam.[44]
Oleh karena itu untuk mengembalikan semangat dinamika islam, dalam rangka membuang kekakuan dan kejumudan hukum islam, ijitihad harus dialihkan menjadi ijtihat kolektif. Menurut iqbal, peralihan kekuasaaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislative islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk mengerakkan spirit dalam sistem hukum islam yang selama ini hilang dari umat islam[45] dan menyerukan kepada kaum muslim agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil rasionalisme tersebut.[46]
a)             Hakikat Teologi
Secara umum, ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Di dalamnya memuat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan”, dan “kebebasmerdekaan”.[47] Pandangan tentang ontology teologi membuatnya telah berhasil melihat adanya anomaly (penyimpangan) yang melekat pada literature ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariah mengunakan cara dan pola pikir Yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jahu bersandar kepada akal sehingga mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman konkret merupakan kesalahan besar.[48]
b)             Pembuktian Tuhan
Dalam pembuktian ekstensi Tuhan, iqbal menolak argument kosmologis[49] ataupun ontologis.[50] Ia juga menolak argument teologis[51] yang berusaha membuktikan ekstensi Tuhan yang mengatur ciptaan-nya dari sebelah luar. Meskipun demikian, ia menerima landasan teologis yang imanen (tetap ada). Untuk menopang hal ini iqbal menolak pandangan yang statis matter serta menerima pandangan whitehead sebagai “struktur kejadian” dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karekter nyata konsep tersebut ditemukan iqbal dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson,[52] yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam “jangka waktu murni” ada perubahan, melainkan tidak ada suksensi (penggantian). Kesatuanya seperti kuman yang di dalamnya terdapat pengalaman nenek moyang terhadap individu, bukan sebagai suatu kumpulan, tetapi sebagai suatu kesatuan yang di dalamnya setiap pengalaman menyerap keseluruhannya. Dari diri individu, “jangka waktu murni” ini kemudian ditransfer kea lam semesta dan membenarkan ego mutlak. Gagasan inilah yang “dibicarakan“ Iqbal ke dalam Al-Qur’an. Jadi, Iqbal telah menafsirkan Tuhan yang imanen bagi alam.[53]
c)      Jati diri manusia
Paham dinamisme Iqbal berpengaruh benar terhadap jati diri manusia. Penelusuran tentang pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya.[54] Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yaitu melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah.[55] Pada hakikatnya, menafikan diri bukan ajaran islam karena hakikat hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat khudi-nya tampak merupakan reaksi terhadap kondisi umuat islam ketika itu telah membawa mereka jauh dari tujuan dan maksud islam yang sebenarnya. Dengan ajaran khudi-nya, ia mengemukakan pandangannya yang dinamis tentang kehidupan dunia.
d)                 Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang penuh  berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusi dari kondisi primitive yang dikuasai hawa nafsu naluria pada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulny ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih”. “Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh resiko ini, menunjukkan kepercayaannya yang besar pada manusia. Sekarang, kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Pengakuan terhadap kemandirian (manusia) melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang timbul dari keterbatasan kemandirian.[56]
e)                  Surga dan neraka
Surga dan neraka, menurut Iqbal merupakan keadaan-keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surge adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju pada perpecahan. Tidak ada ketukan abadi dalam islam. Neraka sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang di sediakan Tuhan. Ia merupakan pengalaman korektif yang dapat memperkeras ego agar lebih sensitive terhadap tipuan angina sejuk dari kemahamurahan Allah. Surga juga bukan merupakan tempat berlibur. Kehidupan itu hanya satu dan berkesinambungan.[57]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa:
1.      Syekh Muhammad Abduh (1894-1905): Pemikiran-pemikiran kalamnya:
a.       Kedudukan akal dan fungsi wahyu
b.      Kebebasan manusia dan fatalism
c.       Sifat-sifat Tuhan
d.      Kehendak mutlak Tuhan
e.       Keadilan Tuhan
f.       Antropomorfisme
g.      Melihat Tuhan
h.      Perbuatan Tuhan
2.      Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi (1817-1898): Pemikiran kalamnya:
a.       Segala sesuatu yang diukur dengan kritik nasional
b.      Menolak semuanya yang bertentangan dengan logika dan hukum alam
c.       Sebagai konsekwensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memmandang perlu diadakanya ijitihad-ijtihad baru menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
3.      Muhammad Iqbal (1876-1938): Pemikiran kalamya:
a.       Hakikat teologi
b.      Pembuktian Tuhan
c.       Jati diri manusia
d.      Dosa
e.       Surge dan neraka
B.     Saran
Kami selaku penulis menyadari seutuhnya banwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami minta kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaikinya di lain kesempatan.



DAFTAR PUSTAKA

Rozak, Abdul, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2012.
Assegaf, Abd Rahman, Aliran Pemikiran Pendididkan Islam, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2013.
Nasution Harun, Teologi Islam, Jakarta, UI Press, 1986.
Amin Abdullah, Falsafah Kalam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.
Josep Iskandar. Pdf




[1] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hlm. 12; Versi lain mengatakan bahwa Abduh lahir di Mesir Hilir dan akhirnya menetap di Mahallah Nashr setelah lari dari ancaman para penguasa Muhammad ‘Ali. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 68. Dalam Abdul Rozak.
[2] Nasution, loc. cit. Dalam Abdul Rozak.
[3] Abd Rahman Assegaf,Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2013, hlm. 149-151.
[4] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’takzilah (Jakarta: UI Press, 1987, cet, I, hlm, 11) Dalam Josep Iskandar. pdf, hlm 22.
[5] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm, 225) Dalam Josep Iskandar. Pdf, hlm, 22.
[6] Albert Hourni, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798-1939, Cambridge University Press, 1993, hlm. 131. Dalam Abdul Rozak.
[7] Syihab, op. cit., hlm. 13. Dalam Abdul Rozak.
[8] Hourain, op. cit., hlm. 132; Shihab, op. cit., hlm. 14. Dalam Abdul Rozak.
[9] Nasution, op. cit., hlm. 61; Shihab, loc. cit., Haurani, op. cit., hlm. 133. Dalam Abdul Rozak.
[10] N. Qurais Shihab, Study Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hlm. 19. Dalam Abdul Rozak.
[11] Sayyid Quthub, Khasha’ish At-Tashawwur Al-Islam, t.t., hlm. 19. Dalam Abdul Rozak.
[12] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1987, hlm. 57. Dalam Abdul Rozak.
[13] Nasution, Pembaharuan …, op. cit., hlm. 74. Dalam Abdul Rozak.
[14] Nasution, Muhammad …, op. cit., hlm. 58-61. Dalam Abdul Rozak.
[15] Patrick Bannerman, Islam in Perspective: a Guide to Islamic Society, Politics and Law, Routledge London and New York for the Royal Intitute of International Affaris, London, hlm. 132. Dalam Abdul Rozak.
[16] Nasution, Muhammad …, op. cit., hlm. 65. Dalam Abdul Rozak.
[17] Ibid., hlm. 66. Dalam Abdul Rozak.
[18] Ibid., hlm. 71. Dalam Abdul Rozak.
[19] Ibid., Dalam Abdul Rozak.
[20] Ibid., hlm. 75 dan 77. Dalam Abdul Rozak.
[21] Ibid., hlm. 78-79. Dalam Abdul Rozak.
[22] Ibid., 80. Dalam Abdul Rozak.
[23] Ibid. Dalam Abdul Rozak.
[24] Ibid., hlm. 85. Dalam Abdul Rozak.
[25] Nasution, Pembaharuan …, op. cit., hlm. 165. Dalam Abdul Rozak.
[26] Ibid. Dalam Abdul Rozak.
[27] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Mizan, Bandung, 1993, hlm. 65-66. Dalam Abdul Rozak.
[28] Nasution, Pembaharuan …, op. cit., hlm. 169-170. Dalam Abdul Rozak.
[29] Ibid., hlm. 167. Dalam Abdul Rozak.
[30] Ibid., hlm. 168. Dalam Abdul Rozak.
[31] Ali, op. cit,. hlm. 70. Dalam Abdul Rozak.
[32] Nasution, Pembaharuan …, op. cit., hlm. 168. Dalam Abdul Rozak.
[33] Ibid., hlm. 169. Dalam Abdul Rozak.
[34] Ali, op. cit., hlm. 20. Dalam Abdul Rozak.
[35] Nasution, op. cit., hlm. 169 dan 171. Dalam Abdul Rozak.
[36] Khalifah Abd Hakim, “Renainsance in Indo-Pakistan” dalam wd. M.M. Syarif (Ed.), A History of Muslim Philosofi, Weibaden, Otto Harrssowitz, 1966, hlm. 1614. Dalam Abdul Rozak.
[37] Abdul Wahab Azzam, Iqbal: Siratuh wa Falsafah wa Syi’luh, Terj. Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 17. Dalam Abdul Rozak.
[38] Nasution, Pembaharuan …, op. cit., hlm. 190. Dalam Abdul Rozak.
[39] Azzam, op. cit., hlm. 29. Dalam Abdul Rozak.
[40] Ibid., hlm. 56. Dalam Abdul Rozak.
[41] Nasution, op. cit., hlm. 191. Dalam Abdul Rozak.
[42] Marshal G.S. Hudgson, The Venture of Islam, Chichago Press, Chichago, 1974, hlm. 39. Dalam Abdul Rozak.
[43] Nasution, op. cit., hlm. 192. Dalam Abdul Rozak.
[44] Muhamad Iqbal, The Reconstruction of Religion Thought in Islam, Kitab Bravan, New Delhi, 1981, hlm. 92. Dalam Abdul Rozak.
[45] Ibid. hlm. 173. Dalam Abdul Rozak.
[46] Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Pustaka, Bandung, 1984, hlm. 324. Dalam Abdul Rozak.
[47] Iqbal, op. cit., hlm. 154. Dalam Abdul Rozak.
[48] Amin Abdullah, Falsafa Kalam, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 1995, hlm. 86-87.
[49] Harun Nasution FIlsafat Agama,Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 50. Dalam Abdul Rozak.
[50] Ibid., hlm 47. Dalam Abdul Rozak.
[51] Ibid., hlm. 55. Dalam Abdul Rozak.
[52] Heri Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat,Gramedia, Jakarta, 1984, hlm.104. Dalam Abdul Rozak.
[53] Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir dan Kontekstual Al-Qur’an; sebuah kerangka konseptual, Mizan, Bandung, 1989, hlm 21-22. Dalam Abdul Rozak.
[54] Hakim, op. cit. Dalam Abdul Rozak.
[55] Azzam, op. cit., hlm. 56. Dalam Abdul Rozak.
[56] H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein,Rajawali Press, Jakarta, 1995, hlm. 131-132. Dalam Abdul Rozak.
[57] Ibid., hlm. 133-134. Dalam Abdul Rozak.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Ilmu

Konteks Pendidikan Luar Sekolah