Asbabun Nuzul



ASBABUN NUZUL
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ulumul qur'an

Dosen pengampu :
Mahbub Junaidi, M.Th.I



OLEH :
NADHIFATUL KHOIRI  15051024



PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
TAHUN 2016



KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil’alamin puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala taufiq, hidayah serta inayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ASBABUN NUZUL” ini, guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an.
Shalawat dan salam tetap tercurahkan pada revolusioner dunia, junjungan kita baginda Nabi besar Muhammad SAW dan keluarga serta para sahabat-sahabat beliau yang telah memberikan kita petunjuk dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang yang berupa Addinul Islam. Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mahbub Junaidi, M.Th. I selaku dosen pengampu mata kuliah Ulumul Qur’an yang telah membimbing dan memberikan arahan kepada kami, dan kepada semua pihak atas terselesaikannya makalah ini.
Makalah  ini masih belum sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini, dengan harapan  makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis khususnya. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya bagi kita semua. Amiin.



                                                                                    Lamongan, 15 November 2016


                                                                                                Penulis



DAFTAR ISI

HALAMAN COVER......................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 4
A.       Latar Belakang ...................................................................................................... 4
B.       Rumusan Masalah.................................................................................................. 4
C.       Tujuan.................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................... 5
A.    Definisi Asbabun Nuzul.......................................................................................... 5
B.     Pendapat Ulama’ tentang Asbabun Nuzul.............................................................. 8
C.     Kaidah Ibrah pada Asbabun Nuzul......................................................................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................................................. 17
A.    Kesimpulan.............................................................................................................. 17
B.     Saran ....................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 18













BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-risalahnya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan  Asbabun Nuzul.
Makalah ini akan membahas beberapa masalah penting yang berhubungan dengan Asbabun Nuzul, yakni definisi Asbabun Nuzul, pendapat ulama’ tentang Asbabun Nuzul, serta Kaidah Ibrah pada Asbabun Nuzul.[1]

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah Definisi Asbabun Nuzul?
2.      Bagaimanakah Pendapat Ulama’ tentang Asbabun Nuzul?
3.      Bagaimanakah Kaidah Ibrah pada Asbabun Nuzul?
C.    TUJUAN
1.      Untuk Mengetahui Definisi Asbabun Nuzul?
2.      Untuk Mengetahui Pendapat Ulama’ tentang Asbabun Nuzul?
3.      Untuk Mengetahui Kaidah Ibrah pada Asbabun Nuzul?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul merupakan berasal dari kata “asbab” dan “al-nuzul”. Asbab merupakan bentuk plural dari sabab yang mempunyai arti dari hakiki yang menunjukkan kepada sesuatu yang dengannya dicapai sebuah tujuan dan maksud-maksudnya. Sedangkan al-nuzul terbagi menjadi menjadi dua makna yaitu dari kata ينزلنزل yang artinya turun secara berangsur-angsur, sedangkan makna yang kedua itu dari kata ينزل انزل yang artinya menurunkan. Asbabun nuzul secara umum diartikan sebagai firman Allah SWT yang dimiliki kemukjizatan yang diturunkan kepada nabinya yang terakhir yaitu nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang ditulis pada mushaf diriwayatkan sampai kepada kita secara mutawatir.[2]
Sedangkan dibukunya Rosihon Anwar menulis Ungkapan asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “azbab” dan “nuzul”. Secara etimologi asbab An-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab An-Nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan asbab An-Nuzul khusus dipergunakan menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus dipergunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis.[3]
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa turunnya ayat-ayat al-Qur’an itu ada dua macam, yaitu :
a.       Turunnya dengan didahului oleh sebab
Dalam hal ini ayat-ayat tasyri’iyyah atau ayat-ayat hukum merupakan ayat-ayat yang pada umumnya mempunyai sebab turunnya. Jarang (sedikit) sekali ayat-ayat hukum yang turun tanpa suatu sebab. Dan sebab turunnya ayat itu adakalanya berupa peristiwa yang terjadi di masyarakat Islam dan adakalanya berupa pertanyaan dari kalangan Islam atau dari kalangan lainnya yang ditujukan kepada Nabi.
Contoh ayat yang turun karena ada suatu peristiwa, ialah surat al-Baqarah ayat 221 :
ولا ثنكحو المشركاث حثي يئمن ولامة مئمنة خير من مشركة ولو اعجبثكم ولاثنكحو المشركين حثي يئمنوا ولعبد مؤمن خير من خير من مشرك ولو اعجبكم اولئك  يدعون الئ الناس والله يدعون الي الجنة والمغفرة باذنه ويبين اياثه للناس لعلهم يثذكرون
“janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman; sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatnya (perintah-perintahnya) kepada manusia. Supaya mereka mengambil pelajaran.
Turunnya ayat ini adalah karena ada peristiwa sebagai berikut: Nabi mengutus Murtsid al-Ghazali ke Mekkah untuk tugas mengeluarkan orang-orang Islam yang lemah. Setelah dia sampai disana, dia dirayu oleh seorang wanita musyrik yang cantik dan kaya, tetapi dia menolak, karena takut kepada Allah. Kemudian wanita tersebut datang lagi dan minta agar dikawini. Murtsid pada prinsipnya dapat menerimanya, tetapi dengan syarat setelah mendapat persetujuan dari Nabi. Setelah dia kembali ke Madinah, dia menerangkan kasus yang dihadapi dan minta izin kepada Nabi untuk menikah dengan wanita itu. Maka turunlah surat al-Baqarah 211.
Kadangkala peristiwa juga terjadi dari sekelompok sahabat. Sebagaimana para sahabat yang membela orang-orang munafik dan berhubungan dengan orang-orang Yahudi, karena adanya relasi di antara mereka (berupa kekerabatan, berteman, sumpah setia, sepersusuan), lalu Allah menurunkan ayat 118 dalam surat Ali Imran (Naisaburi, 1388:118) [4]
b.      Turunnya tanpa didahului oleh suatu sebab
Ayat semacam ini banyak terdapat di dalam al-Qur’an sedang jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat hukum yang mempunyai Asbabun Nuzul. Misalnya ayat-ayat yang mengisahkan hal-ihwal umat-umat terdahulu beserta para Nabinya, menerangakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, atau menceritakan hal-hal yang ghaib, yang akan terjadi atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksaan kubur.
Ayat-ayat demikian itu diturunkan oleh Allah bukan untuk memberi tanggapan terhadap sesuatu pertanyaan atau suatu peristiwa yang terjadi pada waktu itu, melainkan semata-mata untuk memberi petunjuk kepada manusia, agar menempuh jalan yang lurus. Allah menjadikan ayat-ayat ini mempunyai hubungan menurut konteks Qur’ani dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Karena itu tidak benar dugaan sebagian ulama, bahwa setiap ayat yang turun itu mempunyai Asbabun Nuzul. Bahkan hanya sebagian kecil saja ayat-ayat al-Qur’an itu mempunyai Asbabun Nuzulnya, yakni ayat-ayat ahkam. Di luar ayat-ayat ahkam, seperti ayat-ayat yang mengisahkan hal-ihwal para nabi beserta umatnya, pada umumnya tidak punya Asbabun Nuzulnya. Kalau ayat-ayat kisah ini bisa dikatakan punya Asbabun Nuzul, maka Asbabun Nuzulnya hanya mempunyai satu motif saja yang bersifat umum, yakni untuk menghibun Nabi Muhammad, dan untuk menguatkan hatinya dalam menghadapi berbagai tantangan yang keras, terutama dari kaumnya sendiri (Quraisy). Misalnya ayat-ayat tentang kisah Nabi Musa, yang berulang-ulang diungkapkan di tempat-tempat yang terpencar-pencar dengan gambaran-gambaran (peristiwa-peristiwa) yang bermacam-macam.[5]


B.     Pendapat Ulama’ tentang Asbabun Nuzul
Apabila Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun Nuzul) Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1.      Bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: ‘Ayat ini turun mengenai urusan ini’, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu; sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk kedalam makna ayat dan disimpulkan darinya. Bukan menyebutkan sebab nuzul. Kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya ialah penjelasan sebab nuzul.
2.      Apa bila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya ‘Ayat ini turun mengenai urusan ini’, sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan menyebutkan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk didalam hukum ayat.  Contohnya ialah riwayat tentang sebab nuzul firman Allah: ‘Isteri-isterimu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.’ (al-Baqarah : 223)
Dari Nafi' disebutkan: ‘Pada suatu hari aku membaca (isteri-isterimu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam), maka kata Ibn Umar: ’Tahukah engkau mengenai apa ayat ini turun’ Aku menjawab: ‘Tidak’ Ia berkata: ‘Ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi isteri dari belakang.’ Bentuk redaksi riwayat dari Ibn Umar ini tidak dengan tegas menunujukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan; ‘Orang-orang yahudi berkata: ‘Apabila seorang laki-laki mendatangi isterinya dari belakang, maka anaknya nanti akan bermata juling, maka turunlah ayat (isteri-isterimu itu adalah ibarat tanah kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanammu itu sebagaiman saja kamu kehendaki)’. Maka Jbir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedang ucapan Ibn Umar, tidaklah demikian, karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
3. Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat diantaranya itu sahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang sahih. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan ahli hadis lainnya.
Dari Jundub al-Bajali: Nabi menderita sakit hingga dua atau tiga malam, tidak bangun malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata: ‘Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu, selama dua tiga malam ini, sudah tidak mendekatimu lagi.’ Maka Allah menurunkan firman ini (Demi waktu Dhuha, dan demi malam apabila telah sunyi; Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tidak benci kepadamu).
Sementara itu Tabarani dan Ibn Syaibah meriwayatkan: dari Hafs bin Maisarah, dari ibunya, dari budak perempuannya pembantu Rasulullah: Bahwa seekor anak anjing telah masuk kedalam rumah Nabi, lalu masuk kekolong tempat tidur dan mati. Karenanya selama empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata; ‘Kaulah apa yang telah terjadi diruamah Rasulullah ini’ sehingga jibril tidak datang kepadaku! Dalam hati aku berkata: Alangkah baiknya andai kata aku membenahi rumah ini dan menyapunya. Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak anjing. Lalu datanglah Nabi sedang janggutnya bergetar. Apa bila turun wahyu kepadanya ia tergetar. Maka Allah menurunkan (Demi waktu Dhuha) sampai dengan (lalu hatimu menjadi puas). Ibn Hajar dalam syarah Bukahri berkata: ‘Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anak anjing itu cukup masyhur, tetapi bahwa kisah itu dijadikan sebab turun ayat adalah suatu hal yang ganjil (gharib). Dalam isnad hadis itu terdapat orang yang tidak dikenal, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat dalam sahih Bukhari dan Muslim.
4. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama sahiih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya. Seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut. Atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sahih. Maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. Contohnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukahari dari Ibn Mas'ud yang mengatakan: ‘Aku berjalan dengan Nabi dimadinah, ia berpegang pada tongkat dari pohon kurma, dan ketika melewati serombongan orang-orang yahudi, seseorang diantara mereka berkata: ‘coba kamu tanyakan sesuatu kepadanya,’ lalu mereka menanyakan: ‘ceritakan kepada kami tentang roh, ‘Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu telah turun kepadanya, wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia berkata: (‘Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’) (al-Israa: 85).
Diriwayatkan dan disahihkan oleh Tirmizi, dari Ibn Abbas yang mengatakan: ‘Orang Quraisy berkata kepada orang yahudi; berilah kami suatu persoalan untuk kami tenyakan kepada orang ini (Muhammad). mereka menjawab: Tanyakan kepadanya tentang roh.’ Lalu mereka tanyakan kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: (Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah roh itu termasuk urusan Tuhanku).
Riwayat ini memberi kesan bahwa ayat itu turun di Mekkah, tempat adanya kaum Quraisy. Sedang riwayat pertama memberi kesan turun di Madinah. Riwayat pertama dikukuhkan karena Ibn Masud hadir dalam atau menyaksikan kisah tersebut. Disamping itu umat juga telah terbiasa untuk lebih menerima hadis sahih Bukhari dan memandangnya labih kuat dari hadis sahih yang dinyatakan oleh yang lainnya. Zarkasyi berpendapat, contoh seperti ini termasuk kedalam bab ‘banyak dan berulangnya nuzul’ dengan demikian ayat diatas turun dua kali, sekali dimakkah dan sekali di madinah. Dan yang menjadi sandaran untuk hal itu ialah bahwa surah subhana atau al-isra' adalah makki menurut kesepakatan.
Kami sendiri berpendapat, kalaupun surah itu makki sifatnya, namun tidak dapat ditolak apabila satu ayat atau lebih dari surat tersebut itu madani. Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibn Mas’ud tersebut menunjukkan bahwa ayat ini (Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit) adalah madani. Karena itu pendapat yang kami pilih, yaitu menguatkan (tarjih) riwayat Ibnu Mas’ud atas riwayat Tirmidzi dan Ibn Abba, lebih baik dari pada memvonis ayat tersebut dengan banyak dan berulangnya nuzul.
Sekiranya benar bahwa ayat tersebut makki dan diturunkan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan, maka pengulangan pertanyaan yang sama dimadinah tidak menuntut penurunan wahyu dengan jawaban yang sama pula sekali lagi tetapi yang dituntut adalah agar Rasulullah SAW menjawabnya dengan jawaban yang telah turun sebelumnya.
5. Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat. Maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan. Misalnya, ayat li'an Dan orang yang menuduh isterinya berbuat zina.’ ‘(an-Nur 6-9).
Bukhari Tirmizi dan Ibn Majah meriwayatkan, dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai Hilal bin Umayah yang menuduh isterinya telah berbuat serong dengan Suraik bin Sahma. Dihadapan Nabi. Seperti telah kami sebutkan diatas. Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lain, dari Sahl bin Sa’ad; Uwaimir datang kepada ‘Asim bin ‘Adi lalu berkata: ‘Tanyakan kepada Rasulullah SAW tentang laki-laki yang mendapatkan isterinya dengan laki-laki lain; apakah ia harus membunuhnya sehingga ia diqisas atau apakah yang harus ia lakukan’ kedua riwayat ini bisa dipadukan, yaitu ketika peristiwa Hilal terjadi labih dahulu, dan kebetulan pula Uwaimir mengalami kejadian serupa, maka turun ayat yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah terjadi dua peristiwa tersebut. Ibn Hajar berkata: banyaknya sebab nuzul itu tidak menjadi soal.
6. Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan. Maka hal yang demikian dibawa kepada atau dipandang sebagai banyak atau berulangnya nuzul. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dan al-Musayyab; ia berkata: ‘Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Rasulullah SAW menemuinya. Dan disebelahnya (Abu Thalib) ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah. Maka kata Nabi: ‘Paman, ucapkanlah Lailahaillallah. Karena dengan kalimat itu aku kelak aku dapat memintakan keringanan bagi paman disisi Allah. Abu jahal dan Abdullah berkata ‘Abu Thalib apakah engkau sudah tidak menyukai agama Abdul Muthalib’ kedua orang itu terus berbicara kepada Abu Thalib sehingga masing-masing mangatakan bahwa ia tetap dalam agama Abdul Muthalib. Maka kata Nabi: Aku akan tetap memintakan ampunan bagimu selama aku tidak dilarang berbuat demikian. Maka turunlah ayat: Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik. (at-Taubah: 113).
Tirmidzi meriwayatkan dari Ali yang mengatakanaku mendengar seorang laki-laki meminta ampunan untuk kedua orang tuanya, sedang keduanya itu musyrik. Lalu aku katakan kepadanya: ‘Apakah engkau memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu, sedang mereka itu musyrik…’ ia menjawab: ‘Ibrahim telah memintakan ampunan untuk ayahnya, sedang ayahnya juga musyrik,’ lalu aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW , maka turunlah ayat tadi, diriwayatkan olah Hakim dan yang lain, dari Ibn Mas’ud, yang mengatakan: ‘Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kekuburan, lalu duduk didekat salah satu makam. Ia bermunajat cukup lama, lalu menangis. Katanya: ‘Makam ini dimana aku duduk disisinya adalah makam ibuku, aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk mendoakannya, tetapi Dia tidak mengizinkan, lalu diturunkan wahyu kepadaku ‘(Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik).’ Riwayat-riwayat ini dapat dikompromikan dengan ( dinyatakan sebagai ) berulang kalinya nuzul ( maksudnya kita memandang bahwa ayat itu diturunkan berulang kali.
Contoh lain ialah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi berdiri disisi jenazah Hamzah yang mati syahid dengan dianiaya. Maka kata Nabi: Akan kuaniaya tujuh puluh orang dari mereka sebagai balasan untukmu.’ Maka jibril turun dengan membawa akhir surah an-Nahl kepada Nabi sementara ia dalam keadaan berdiri: (Jika kamu mengadakan pembalasan, maka balaslah dengan pembalasan yang sama dengan siksaan yang ditimpahkan kepadamu).’ (an-Nahl : 126-128) sampai akhir surah, riwayat ini menunjukkan bahwa ayat-ayat diatas turun diwaktu perang uhud.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ayat-ayat tersebut turun pada waktu penaklukan kota makkah. Padahal surah tersebut adalah makki. Maka pengompromian antar riwayat-riwayat itu ialah dengan menyatakan bahwa ayat-ayat turun dimekkah sebelum Hijrah, lalu diuhud dan kemudian turun lagi saat penaklukan kota mekkah. Tidak ada salahnya bagi hal yang demikian mengingat dalam ayat-ayat tersebut terdapat peringatan akan nikmat Allah kepada hamba-hambanya dengan adanya syariat.az-Zarkasyi dalam al-Burhan mengatakan: ‘Terkadang sesuatu ayat turun dua kali sebagi penghormatan kebesaran dan peringatan yang menyebabkan nya, khawatir dan terlupakan. Sebagaimana terjadi pada surah Fatihah yang turun dua kali. Sekali di mekkah dan sekali di madinah. ‘Demikianlah pendapat dan sikap para ulama ahli dalam bidang ini mengenai riwayat-riwayat sebab nuzul suatu ayat, bahwa ayat itu diturunkan beberapa kali.
Ringkasnya, bila sebab nuzul sesuatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas. Dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab. Apabila semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat. Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas. Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah satunya sahih atau semuanya sahih, apabila salah satunya sahih dan yang lainnya tidak, maka yang sahih itulah yang menjadi pegangan. Apabila semuanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin. Bila tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka dipadukan bila mungkin. Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu, diturunkan beberapa kali dan berulang.[6]
C. Kaidah ibroh dalam Asbabun Nuzul
Al-‘Ibrah bermakna al-‘izhah yang berarti peringatan, tauladan atau pelajaran. Maka al’ibrah biumumil lafzhi la bikhushushis sababi  ialah mengambil pelajaran atau hukum dari keumuman lafzh, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni bila sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum (general), maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya tersebut dan setiap hal yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Qur’an turun sebagai syari’at umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi tolok ukur/standar adalah keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan sebabnya.
Ada 3 pokok kandungan yang terambil dari kaidah Al-Ibrah bi umumil-lafdz la bi khusus as-sabab :
1. Yang  jadi hujjah adalah lafaznya bukan peristiwa yang mengitari ayat itu.
2. Lafazh haruslah diberlakukan secara umum, kecuali ada dalil yang mengharuskan ia dipahami khusus.
3. Para sahabat salalu berhujjah dengan lafaz umum, walaupun mereka sudah tahu sebab-sebab khususnya.
Syaikh As-sa’di mengatakan bahwa kaidah ini dengan mengambil kesimpulan dari suatu ayat dengan melihat keumuman dari ayat bukan dari sebab turunnya suatu ayat, merupakan kaidah yang sangat bermanfaat. Ketika seseorang menguasai kaidah ini, niscaya akan bertambah padanya ilmu dan kebaikan yang banyak, namun jika tidak maka ia akan terjatuh kepada kesalahan dan kerancuan.[7]
Ada sebuah persoalan yang penting dalam pembahasan asbab an-Nuzul, misalkan telah terjadi suatu peristiwa atau ada suatu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksi ‘amm (umum) hingga boleh jadi mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak terbatas pada kasus pertanyaan itu, maka persoalannya adalah apakah ayat tersebut harus dipahami dari keumuman lafazh ataukah dari sebab khusus (spesifik) itu. Dengan kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusus ataukah umum? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukannya kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khusus as-sabab). As-Suyuthi, memberikan alasan bahwa itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan, antara lain, ketika turun ayat zihar dalam kasus Salman Ibn Shakhar, ayat li’an dalam perkara Hilal Ibn Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kasus tuduhan terhadap ‘Aisyah, penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut ternyata juga diterapkan terhadap peristiwa lain yang serupa.
Zamakhsyari dalam penafsiran surat Al-Humazah [104] mengatakan bahwa boleh jadi surat ini diturunkan karena sebab khusus, namun ancaman hukuman yang tercakup di dalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibn Abbas pun mengatakan bahwa ayat [5]:8 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian seseorang wanita dalam asbab an-Nuzul itu.
Ibn Taimiyyah berpendapat, bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu bahkan, kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang, kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya surat Al-Maidah [5]: 49 “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukuman yang diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil, ayat ini sebenarnya diturunkan bagi kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun, menurut Ibnu Taimiyyah tidak benar jika dikatakan bahwa perintah pada Nabi itu hanya berlaku adil terhadap kedua qabilah itu.
Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh Al-Quran harus dipandang dari segi kekhususan sebab bukan dari segi keumuman lafazh (al-‘ibrah bi khusus as-sabab la bi bi’ umum al-lafazh). Jadi cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang menyebabkan sebuah ayat diturunkan. Adapun kasus lainnya yang serupa, kalaupun akan mendapat penyelesaian yang sama, hal itu bukan diambil dari pemahaman terhadap ayat itu, melainkan dari dalil lain yaitu dengan qiyas, apabila memang memenuhi syarat-syarat qiyas, ayat qadzaf, misalnya diturunkan khusus sehubungan dengan kasus Hilal dengan istrinya. Adapun kasus lain yang serupa dengan kasus tersebut, hukumnya ditetapkan melalui jalan qiyas.
Perlu diberikan catatan bahwa perbedaan pendapat diatas hanya terjadi pada kasus ayat yang bersifat umum dan tidak terdapat petunjuk bahwa ayat tersebut berlaku kusus. Jika ternyata ada petunjuk demikian, seluruh ulama sepakat bahwa hokum ayat itu hanya berlaku itu kasus yang disebutkan itu. Misalnya, riwayat Ibn Abbas tentang penafsiran surat Ali Imran [3]: 188 “Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksaa yang pedih.” Ayat ini khusus berbicara tentang perilaku tertentu dari Ahli Kitab, walaupun lafazhnya lebih umum dari sebab turunya. Jadi, ayat ini tidak bisa dipergunakan untuk kasus lain dengan berpegang kepada keumuman lafazh.[8]









BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
1.  Asbabun nuzul secara umum diartikan sebagai firman Allah SWT yang dimiliki kemukjizatan yang diturunkan kepada nabinya yang terakhir yaitu nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang ditulis pada mushaf diriwayatkan sampai kepada kita secara mutawatir.
2.  Apabila Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun Nuzul) Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir adalah:
      a. Bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas
      b. Apa bila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas
      c. Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul
      d. Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat
      e. Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara                                                                                                           sebab-sebab tersebut berjauhan.
3.  Al’ibrah biumumil lafzhi la bikhushushis sababi  ialah mengambil pelajaran atau hukum dari keumuman lafzh, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni bila sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum (general), maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya tersebut dan setiap hal yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Qur’an turun sebagai syari’at umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi tolok ukur/standar adalah keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan sebabnya.

B.     SARAN
Kami selaku penulis menyadari seutuhnya bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami minta kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaikinya di lain kesempatan.
DAFTAR PUSTAKA

Khalil al-Qattan, Manna’. Studi ilmu-ilmu Qur’an. PT. Pustaka Litera AntarNusa. Jakarta.
Anwar, Rosihon. Ulum al-Qur’an. Pustaka Setia. Bandung. 2010
Bin Abdurrahman Ar-Rumi, Fahd. Ulumul Qur’an, Titian Ilahi Press,Yogyakarta, 1997
Zuhdi, Masjfuk.Ulumul Qur’an. Karya Abditama. Surabaya. 1997

 



[1] Manna’ khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, PT. Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta.
[2] http://mariachip.blogspot.co.id/2015/02/asbabun-nuzul.html diunduh pada 05 oktober 2016 pukul 22.14 wib
[3] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 65
[4] Fahd Bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an, Titian Ilahi Press,Yogyakarta, 1997, hlm, 182
[5] Masjfuk Zuhdi, Ulumul Qur’an, Karya Abditama, Surabaya, 1997, hlm, 36-38
[6]http://manshur-musthofa.blogspot.co.id/2012/02/asbabun-nujul.html diunduh pada 06 Oktober 2016 pukul 11.50 wib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Ilmu

Pemikiran Kalam Ulama Modern

Konteks Pendidikan Luar Sekolah