Asbabun Nuzul
ASBABUN NUZUL
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ulumul qur'an
Dosen pengampu :
Mahbub Junaidi, M.Th.I
OLEH
:
NADHIFATUL KHOIRI 15051024
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil’alamin puji syukur dipanjatkan
kehadirat Allah SWT, atas segala taufiq, hidayah serta inayahnya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ASBABUN NUZUL” ini, guna memenuhi
tugas mata kuliah Ulumul Qur’an.
Shalawat dan salam tetap tercurahkan pada
revolusioner dunia, junjungan kita baginda Nabi besar Muhammad SAW dan keluarga
serta para sahabat-sahabat beliau yang telah memberikan kita petunjuk dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang yang berupa Addinul Islam.
Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mahbub Junaidi, M.Th. I selaku
dosen pengampu mata kuliah Ulumul Qur’an yang telah membimbing dan memberikan arahan
kepada kami, dan kepada semua pihak atas terselesaikannya makalah ini.
Makalah ini
masih belum sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini, dengan
harapan makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca dan penulis khususnya. Semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya bagi kita semua. Amiin.
Lamongan, 15 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER......................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................. 4
C. Tujuan.................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................... 5
A.
Definisi Asbabun Nuzul.......................................................................................... 5
B. Pendapat Ulama’
tentang Asbabun Nuzul.............................................................. 8
C. Kaidah Ibrah pada
Asbabun Nuzul......................................................................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................................................. 17
A. Kesimpulan.............................................................................................................. 17
B. Saran ....................................................................................................................... 17
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah
tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang
didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-risalahnya. Juga memberitahukan
hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang
akan datang.
Sebagian besar Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum
ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan
banyusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka.
Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam
mengenai hal itu. Maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau pertanyaan
yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.
Makalah ini akan membahas beberapa masalah penting yang berhubungan
dengan Asbabun Nuzul, yakni definisi Asbabun Nuzul, pendapat ulama’ tentang
Asbabun Nuzul, serta Kaidah Ibrah pada
Asbabun Nuzul.[1]
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah Definisi
Asbabun Nuzul?
2.
Bagaimanakah Pendapat Ulama’
tentang Asbabun Nuzul?
3.
Bagaimanakah Kaidah Ibrah
pada Asbabun Nuzul?
C.
TUJUAN
1.
Untuk Mengetahui Definisi
Asbabun Nuzul?
2.
Untuk Mengetahui Pendapat
Ulama’ tentang Asbabun Nuzul?
3.
Untuk Mengetahui Kaidah
Ibrah pada Asbabun Nuzul?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul merupakan berasal dari kata “asbab” dan
“al-nuzul”. Asbab merupakan bentuk plural dari sabab yang mempunyai arti dari
hakiki yang menunjukkan kepada sesuatu yang dengannya dicapai sebuah tujuan dan
maksud-maksudnya. Sedangkan al-nuzul terbagi menjadi menjadi dua makna yaitu
dari kata ينزلنزل yang artinya turun
secara berangsur-angsur, sedangkan makna yang kedua itu dari kata ينزل انزل
yang artinya menurunkan. Asbabun nuzul secara umum diartikan sebagai firman
Allah SWT yang dimiliki kemukjizatan yang diturunkan kepada nabinya yang
terakhir yaitu nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang ditulis pada
mushaf diriwayatkan sampai kepada kita secara mutawatir.[2]
Sedangkan dibukunya Rosihon Anwar menulis Ungkapan
asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “azbab” dan “nuzul”. Secara
etimologi asbab An-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya
sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa
disebut asbab An-Nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan asbab An-Nuzul
khusus dipergunakan menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya
Al-Qur’an, seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus dipergunakan bagi
sebab-sebab terjadinya hadis.[3]
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa turunnya ayat-ayat al-Qur’an itu
ada dua macam, yaitu :
a.
Turunnya dengan didahului oleh sebab
Dalam hal ini ayat-ayat tasyri’iyyah atau ayat-ayat hukum merupakan
ayat-ayat yang pada umumnya mempunyai sebab turunnya. Jarang (sedikit) sekali
ayat-ayat hukum yang turun tanpa suatu sebab. Dan sebab turunnya ayat itu
adakalanya berupa peristiwa yang terjadi di masyarakat Islam dan adakalanya
berupa pertanyaan dari kalangan Islam atau dari kalangan lainnya yang ditujukan
kepada Nabi.
Contoh ayat yang turun karena ada suatu peristiwa, ialah surat
al-Baqarah ayat 221 :
ولا ثنكحو المشركاث حثي يئمن
ولامة مئمنة خير من مشركة ولو اعجبثكم ولاثنكحو المشركين حثي يئمنوا ولعبد مؤمن
خير من خير من مشرك ولو اعجبكم اولئك يدعون
الئ الناس والله يدعون الي الجنة والمغفرة باذنه ويبين اياثه للناس لعلهم يثذكرون
“janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman; sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayatnya (perintah-perintahnya) kepada manusia. Supaya mereka mengambil
pelajaran.
Turunnya ayat ini adalah karena ada peristiwa sebagai berikut: Nabi
mengutus Murtsid al-Ghazali ke Mekkah untuk tugas mengeluarkan orang-orang
Islam yang lemah. Setelah dia sampai disana, dia dirayu oleh seorang wanita
musyrik yang cantik dan kaya, tetapi dia menolak, karena takut kepada Allah.
Kemudian wanita tersebut datang lagi dan minta agar dikawini. Murtsid pada
prinsipnya dapat menerimanya, tetapi dengan syarat setelah mendapat persetujuan
dari Nabi. Setelah dia kembali ke Madinah, dia menerangkan kasus yang dihadapi
dan minta izin kepada Nabi untuk menikah dengan wanita itu. Maka turunlah surat
al-Baqarah 211.
Kadangkala peristiwa juga terjadi dari sekelompok sahabat.
Sebagaimana para sahabat yang membela orang-orang munafik dan berhubungan
dengan orang-orang Yahudi, karena adanya relasi di antara mereka (berupa
kekerabatan, berteman, sumpah setia, sepersusuan), lalu Allah menurunkan ayat
118 dalam surat Ali Imran (Naisaburi, 1388:118) [4]
b.
Turunnya tanpa didahului oleh suatu sebab
Ayat semacam ini banyak terdapat di dalam al-Qur’an sedang
jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat hukum yang mempunyai Asbabun Nuzul.
Misalnya ayat-ayat yang mengisahkan hal-ihwal umat-umat terdahulu beserta para
Nabinya, menerangakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, atau
menceritakan hal-hal yang ghaib, yang akan terjadi atau menggambarkan keadaan
hari kiamat beserta nikmat surga dan siksaan kubur.
Ayat-ayat demikian itu diturunkan oleh Allah bukan untuk memberi
tanggapan terhadap sesuatu pertanyaan atau suatu peristiwa yang terjadi pada
waktu itu, melainkan semata-mata untuk memberi petunjuk kepada manusia, agar
menempuh jalan yang lurus. Allah menjadikan ayat-ayat ini mempunyai hubungan
menurut konteks Qur’ani dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Karena itu tidak benar dugaan sebagian ulama, bahwa setiap ayat
yang turun itu mempunyai Asbabun Nuzul. Bahkan hanya sebagian kecil saja
ayat-ayat al-Qur’an itu mempunyai Asbabun Nuzulnya, yakni ayat-ayat ahkam.
Di luar ayat-ayat ahkam, seperti ayat-ayat yang mengisahkan hal-ihwal para nabi
beserta umatnya, pada umumnya tidak punya Asbabun Nuzulnya. Kalau ayat-ayat
kisah ini bisa dikatakan punya Asbabun Nuzul, maka Asbabun Nuzulnya hanya
mempunyai satu motif saja yang bersifat umum, yakni untuk menghibun Nabi
Muhammad, dan untuk menguatkan hatinya dalam menghadapi berbagai tantangan yang
keras, terutama dari kaumnya sendiri (Quraisy). Misalnya ayat-ayat tentang
kisah Nabi Musa, yang berulang-ulang diungkapkan di tempat-tempat yang terpencar-pencar
dengan gambaran-gambaran (peristiwa-peristiwa) yang bermacam-macam.[5]
B.
Pendapat Ulama’ tentang
Asbabun Nuzul
Apabila
Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun Nuzul) Terkadang
terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan
demikian, sikap seorang mufasir kepadanya
sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak
tegas, seperti: ‘Ayat ini turun mengenai urusan ini’, maka dalam hal ini tidak
ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu; sebab maksud riwayat-riwayat
tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk kedalam makna
ayat dan disimpulkan darinya. Bukan menyebutkan sebab nuzul. Kecuali bila ada
karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya ialah penjelasan
sebab nuzul.
2. Apa bila salah satu bentuk redaksi riwayat
itu tidak tegas, misalnya ‘Ayat ini turun mengenai urusan ini’, sedang riwayat
yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan menyebutkan
riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan
sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk didalam
hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang
sebab nuzul firman Allah: ‘Isteri-isterimu adalah tanah tempat kamu bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki.’ (al-Baqarah : 223)
Dari
Nafi' disebutkan: ‘Pada suatu hari aku membaca (isteri-isterimu adalah ibarat tanah
tempat kamu bercocok tanam), maka kata Ibn Umar: ’Tahukah engkau mengenai apa
ayat ini turun’ Aku menjawab: ‘Tidak’ Ia berkata: ‘Ayat ini turun mengenai
persoalan mendatangi isteri dari belakang.’ Bentuk
redaksi riwayat dari Ibn Umar ini tidak dengan tegas menunujukkan sebab nuzul.
Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas menyebutkan sebab nuzul
yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan; ‘Orang-orang
yahudi berkata: ‘Apabila seorang laki-laki mendatangi isterinya dari belakang,
maka anaknya nanti akan bermata juling, maka turunlah ayat (isteri-isterimu itu
adalah ibarat tanah kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kamu
bercocok tanammu itu sebagaiman saja kamu kehendaki)’. Maka Jbir inilah yang
dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang sebab
nuzul. Sedang ucapan Ibn Umar, tidaklah demikian, karena itulah ia dipandang
sebagai kesimpulan atau penafsiran.
3. Apabila riwayat itu banyak dan
semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat diantaranya itu
sahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang sahih. Misalnya apa yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan ahli hadis lainnya.
Dari
Jundub al-Bajali: ‘Nabi
menderita sakit hingga dua atau tiga malam, tidak bangun malam. Kemudian
datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata: ‘Muhammad, kurasa setanmu
sudah meninggalkanmu, selama dua tiga malam ini, sudah tidak mendekatimu lagi.’
Maka Allah menurunkan firman ini (Demi waktu Dhuha, dan demi malam apabila
telah sunyi; Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tidak benci kepadamu).’
Sementara
itu Tabarani dan Ibn Syaibah meriwayatkan: dari Hafs bin Maisarah, dari ibunya,
dari budak perempuannya pembantu Rasulullah: ‘Bahwa seekor anak anjing telah masuk
kedalam rumah Nabi, lalu masuk kekolong tempat tidur dan mati. Karenanya selama
empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata; ‘Kaulah apa yang telah
terjadi diruamah Rasulullah ini’ sehingga jibril tidak datang kepadaku! Dalam
hati aku berkata: ‘Alangkah
baiknya andai kata aku membenahi rumah ini dan menyapunya’. Lalu aku menyapu
kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak anjing. Lalu datanglah
Nabi sedang janggutnya bergetar. Apa bila turun wahyu kepadanya ia tergetar.
Maka Allah menurunkan (Demi waktu Dhuha) sampai dengan (lalu hatimu menjadi
puas).’ Ibn Hajar dalam syarah
Bukahri berkata: ‘Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anak anjing itu cukup
masyhur, tetapi bahwa kisah itu dijadikan sebab turun ayat adalah suatu hal
yang ganjil (gharib). Dalam isnad hadis itu terdapat orang yang tidak dikenal,
maka yang menjadi pegangan adalah riwayat dalam sahih Bukhari dan Muslim.
4. Apabila riwayat-riwayat
itu sama-sama sahiih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya. Seperti kehadiran perawi dalam
kisah tersebut. Atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sahih. Maka riwayat
yang lebih kuat itulah yang didahulukan. Contohnya ialah hadis yang
diriwayatkan oleh Bukahari dari Ibn Mas'ud yang mengatakan: ‘Aku berjalan
dengan Nabi dimadinah, ia berpegang pada tongkat dari pohon kurma, dan ketika
melewati serombongan orang-orang yahudi, seseorang diantara mereka berkata: ‘coba
kamu tanyakan sesuatu kepadanya,’ lalu mereka menanyakan: ‘ceritakan kepada
kami tentang roh, ‘Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa
wahyu telah turun kepadanya, wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia
berkata: (‘Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit’) (al-Israa: 85).
Diriwayatkan
dan disahihkan oleh Tirmizi, dari Ibn Abbas yang mengatakan: ‘Orang Quraisy
berkata kepada orang yahudi; berilah kami suatu persoalan untuk kami tenyakan
kepada orang ini (Muhammad). ‘mereka
menjawab: ‘Tanyakan
kepadanya tentang roh.’
Lalu mereka tanyakan kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: (Dan mereka bertanya kepadamu
tentang roh. Katakanlah roh itu termasuk urusan Tuhanku).
Riwayat
ini memberi kesan bahwa ayat itu turun di Mekkah,
tempat adanya kaum Quraisy. Sedang riwayat pertama memberi kesan turun di Madinah. Riwayat pertama
dikukuhkan karena Ibn Mas’ud
hadir dalam atau menyaksikan kisah tersebut. Disamping itu umat juga telah
terbiasa untuk lebih menerima hadis sahih Bukhari dan memandangnya labih kuat
dari hadis sahih yang dinyatakan oleh yang lainnya. Zarkasyi berpendapat,
contoh seperti ini termasuk kedalam bab ‘banyak dan berulangnya nuzul’ dengan
demikian ayat diatas turun dua kali, sekali dimakkah dan sekali di madinah. Dan
yang menjadi sandaran untuk hal itu ialah bahwa surah ‘subhana’ atau al-isra' adalah
makki menurut kesepakatan.
Kami
sendiri berpendapat, kalaupun surah itu makki sifatnya, namun tidak dapat
ditolak apabila satu ayat atau lebih dari surat tersebut itu madani. Apa yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibn Mas’ud tersebut menunjukkan bahwa ayat ini (Katakanlah:
Roh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan
sedikit) adalah madani. Karena itu pendapat yang kami pilih, yaitu menguatkan
(tarjih) riwayat Ibnu Mas’ud atas riwayat Tirmidzi dan Ibn Abba, lebih baik
dari pada memvonis ayat tersebut dengan banyak dan berulangnya nuzul.
Sekiranya
benar bahwa ayat tersebut makki dan diturunkan sebagai jawaban atas suatu
pertanyaan, maka pengulangan pertanyaan yang sama dimadinah tidak menuntut
penurunan wahyu dengan jawaban yang sama pula sekali lagi tetapi yang dituntut adalah
agar Rasulullah SAW menjawabnya dengan jawaban yang telah turun sebelumnya.
5. Apabila riwayat-riwayat
tersebut sama kuat. Maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan bila
mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah
sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan.
Misalnya, ayat li'an ‘Dan
orang yang menuduh isterinya berbuat zina.’
‘(an-Nur
6-9).
Bukhari
Tirmizi dan Ibn Majah meriwayatkan, dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai
Hilal bin Umayah yang menuduh isterinya telah berbuat serong dengan Suraik bin
Sahma. Dihadapan Nabi. Seperti telah kami sebutkan diatas. Diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim dan yang lain, dari Sahl bin Sa’ad; Uwaimir datang kepada ‘Asim
bin ‘Adi lalu berkata: ‘Tanyakan kepada Rasulullah SAW tentang laki-laki yang
mendapatkan isterinya dengan laki-laki lain; apakah ia harus membunuhnya
sehingga ia diqisas atau apakah yang harus ia lakukan’ kedua riwayat ini bisa
dipadukan, yaitu ketika peristiwa Hilal terjadi labih dahulu, dan kebetulan
pula Uwaimir mengalami kejadian serupa, maka turun ayat yang berkenaan dengan
urusan kedua orang itu sesudah terjadi dua peristiwa tersebut. Ibn Hajar
berkata: ‘banyaknya
sebab nuzul itu tidak menjadi soal’.
6.
Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara
sebab-sebab tersebut berjauhan. Maka hal yang demikian dibawa kepada atau
dipandang sebagai banyak atau berulangnya nuzul. Misalnya apa yang diriwayatkan
oleh Bukhari Muslim dan al-Musayyab; ia berkata: ‘Ketika Abu Thalib dalam
keadaan sekarat, Rasulullah SAW menemuinya. Dan disebelahnya (Abu Thalib) ada
Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah. Maka kata Nabi: ‘Paman, ucapkanlah Lailahaillallah. Karena dengan kalimat
itu aku kelak aku dapat memintakan keringanan bagi paman disisi Allah. Abu
jahal dan Abdullah berkata ‘Abu Thalib apakah engkau sudah tidak menyukai agama
Abdul Muthalib’ kedua orang itu terus berbicara kepada Abu Thalib sehingga
masing-masing mangatakan bahwa ia tetap dalam agama Abdul Muthalib. Maka kata
Nabi: ‘Aku akan tetap
memintakan ampunan bagimu selama aku tidak dilarang berbuat demikian’. Maka turunlah ayat:
Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah
bagi orang musyrik’. (at-Taubah: 113).
Tirmidzi meriwayatkan dari
Ali yang mengatakan ‘aku
mendengar seorang laki-laki meminta ampunan untuk kedua orang tuanya, sedang
keduanya itu musyrik. Lalu aku katakan kepadanya: ‘Apakah engkau memintakan
ampunan untuk kedua orang tuamu, sedang mereka itu musyrik…’ ia menjawab: ‘Ibrahim
telah memintakan ampunan untuk ayahnya, sedang ayahnya juga musyrik,’ lalu aku
menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW , maka turunlah ayat tadi,
diriwayatkan olah Hakim dan yang lain, dari Ibn Mas’ud, yang mengatakan: ‘Pada
suatu hari Rasulullah SAW pergi kekuburan, lalu duduk didekat salah satu makam.
Ia bermunajat cukup lama, lalu menangis. Katanya: ‘Makam ini dimana aku duduk
disisinya adalah makam ibuku, aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk
mendoakannya, tetapi Dia tidak mengizinkan, lalu diturunkan wahyu kepadaku ‘(Tidak
sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi
orang musyrik).’ Riwayat-riwayat ini dapat dikompromikan dengan ( dinyatakan
sebagai ) berulang kalinya nuzul ( maksudnya kita memandang bahwa ayat itu
diturunkan berulang kali.
Contoh
lain ialah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi berdiri disisi
jenazah Hamzah yang mati syahid dengan dianiaya. Maka kata Nabi: ‘Akan kuaniaya tujuh
puluh orang dari mereka sebagai balasan untukmu.’ Maka jibril turun dengan membawa akhir
surah an-Nahl kepada Nabi sementara ia dalam keadaan berdiri: (Jika kamu
mengadakan pembalasan, maka balaslah dengan pembalasan yang sama dengan siksaan
yang ditimpahkan kepadamu).’ (an-Nahl : 126-128) sampai akhir surah,
riwayat ini menunjukkan bahwa ayat-ayat diatas turun diwaktu perang uhud.
Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa ayat-ayat tersebut turun pada waktu penaklukan
kota makkah. Padahal surah tersebut adalah makki. Maka pengompromian antar
riwayat-riwayat itu ialah dengan menyatakan bahwa ayat-ayat turun dimekkah
sebelum Hijrah, lalu diuhud dan kemudian turun lagi saat penaklukan kota
mekkah. Tidak ada salahnya bagi hal yang demikian mengingat dalam ayat-ayat
tersebut terdapat peringatan akan nikmat Allah kepada hamba-hambanya dengan
adanya syariat.az-Zarkasyi dalam al-Burhan mengatakan: ‘Terkadang sesuatu ayat
turun dua kali sebagi penghormatan kebesaran dan peringatan yang menyebabkan
nya, khawatir dan terlupakan. Sebagaimana terjadi pada surah Fatihah yang turun
dua kali. Sekali di mekkah dan sekali di madinah. ‘Demikianlah pendapat dan
sikap para ulama ahli dalam bidang ini mengenai riwayat-riwayat sebab nuzul
suatu ayat, bahwa ayat itu diturunkan beberapa kali.
Ringkasnya,
bila sebab nuzul sesuatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas,
terkadang pula semuanya tegas. Dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedang
sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab. Apabila semuanya tidak tegas
dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau
dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat. Apabila sebagian tidak tegas dan
sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas. Apabila
semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah satunya sahih
atau semuanya sahih, apabila salah satunya sahih dan yang lainnya tidak, maka
yang sahih itulah yang menjadi pegangan. Apabila semuanya sahih, maka dilakukan
pentarjihan bila mungkin. Bila tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka
dipadukan bila mungkin. Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat
itu, diturunkan beberapa kali dan berulang.[6]
C. Kaidah ibroh
dalam Asbabun Nuzul
Al-‘Ibrah bermakna al-‘izhah yang berarti peringatan,
tauladan atau pelajaran. Maka al’ibrah biumumil lafzhi la bikhushushis
sababi ialah mengambil pelajaran atau
hukum dari keumuman lafzh, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni
bila sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum
(general), maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya
tersebut dan setiap hal yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Qur’an
turun sebagai syari’at umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi
tolok ukur/standar adalah keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan
sebabnya.
Ada 3 pokok kandungan yang terambil dari kaidah
Al-Ibrah bi umumil-lafdz la bi khusus as-sabab :
1. Yang jadi
hujjah adalah lafaznya bukan peristiwa yang mengitari ayat itu.
2. Lafazh haruslah diberlakukan secara umum, kecuali ada
dalil yang mengharuskan ia dipahami khusus.
3. Para sahabat salalu berhujjah dengan lafaz umum,
walaupun mereka sudah tahu sebab-sebab khususnya.
Syaikh As-sa’di mengatakan bahwa kaidah ini dengan
mengambil kesimpulan dari suatu ayat dengan melihat keumuman dari ayat bukan
dari sebab turunnya suatu ayat, merupakan kaidah yang sangat bermanfaat. Ketika
seseorang menguasai kaidah ini, niscaya akan bertambah padanya ilmu dan
kebaikan yang banyak, namun jika tidak maka ia akan terjatuh kepada kesalahan dan
kerancuan.[7]
Ada sebuah persoalan yang penting dalam pembahasan
asbab an-Nuzul, misalkan telah terjadi suatu peristiwa atau ada suatu
pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau
jawabannya, tetapi ungkapan ayat tersebut menggunakan redaksi ‘amm (umum)
hingga boleh jadi mempunyai cakupan yang lebih luas dan tidak terbatas pada
kasus pertanyaan itu, maka persoalannya adalah apakah ayat tersebut harus
dipahami dari keumuman lafazh ataukah dari sebab khusus (spesifik) itu. Dengan
kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusus ataukah umum? Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang harus menjadi
pertimbangan adalah keumuman lafazh dan bukannya kekhususan sebab (al-‘ibrah bi
‘umum al-lafzhi la bi khusus as-sabab). As-Suyuthi, memberikan alasan bahwa
itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan,
antara lain, ketika turun ayat zihar dalam kasus Salman Ibn Shakhar, ayat li’an
dalam perkara Hilal Ibn Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kasus tuduhan terhadap
‘Aisyah, penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut ternyata juga diterapkan
terhadap peristiwa lain yang serupa.
Zamakhsyari dalam penafsiran surat Al-Humazah [104]
mengatakan bahwa boleh jadi surat ini diturunkan karena sebab khusus, namun
ancaman hukuman yang tercakup di dalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua
orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibn Abbas pun mengatakan bahwa
ayat [5]:8 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku
pencurian seseorang wanita dalam asbab an-Nuzul itu.
Ibn Taimiyyah berpendapat, bahwa banyak ayat yang
diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu bahkan, kadang-kadang menunjuk
pribadi seseorang, kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya surat
Al-Maidah [5]: 49 “Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukuman yang diturunkan
Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” tentang perintah kepada Nabi
untuk mengadili secara adil, ayat ini sebenarnya diturunkan bagi kasus Bani
Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun, menurut Ibnu Taimiyyah tidak benar jika
dikatakan bahwa perintah pada Nabi itu hanya berlaku adil terhadap kedua
qabilah itu.
Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa
ungkapan satu lafazh Al-Quran harus dipandang dari segi kekhususan sebab bukan
dari segi keumuman lafazh (al-‘ibrah bi khusus as-sabab la bi bi’ umum
al-lafazh). Jadi cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang menyebabkan
sebuah ayat diturunkan. Adapun kasus lainnya yang serupa, kalaupun akan
mendapat penyelesaian yang sama, hal itu bukan diambil dari pemahaman terhadap
ayat itu, melainkan dari dalil lain yaitu dengan qiyas, apabila memang memenuhi
syarat-syarat qiyas, ayat qadzaf, misalnya diturunkan khusus sehubungan dengan
kasus Hilal dengan istrinya. Adapun kasus lain yang serupa dengan kasus
tersebut, hukumnya ditetapkan melalui jalan qiyas.
Perlu diberikan catatan bahwa perbedaan pendapat
diatas hanya terjadi pada kasus ayat yang bersifat umum dan tidak terdapat
petunjuk bahwa ayat tersebut berlaku kusus. Jika ternyata ada petunjuk
demikian, seluruh ulama sepakat bahwa hokum ayat itu hanya berlaku itu kasus
yang disebutkan itu. Misalnya, riwayat Ibn Abbas tentang penafsiran surat Ali
Imran [3]: 188 “Janganlah sekali-kali
kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka
kerjakan dan mereka suka dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan
janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka
siksaa yang pedih.” Ayat ini khusus berbicara tentang perilaku tertentu
dari Ahli Kitab, walaupun lafazhnya lebih umum dari sebab turunya. Jadi, ayat
ini tidak bisa dipergunakan untuk kasus lain dengan berpegang kepada keumuman
lafazh.[8]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Asbabun nuzul secara
umum diartikan sebagai firman Allah SWT yang dimiliki kemukjizatan yang
diturunkan kepada nabinya yang terakhir yaitu nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril yang ditulis pada mushaf diriwayatkan sampai kepada kita secara
mutawatir.
2. Apabila Pendapat Para
Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun Nuzul) Terkadang terdapat
banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap
seorang mufasir
adalah:
a. Bentuk-bentuk
redaksi riwayat itu tidak tegas
b. Apa bila salah
satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas
c. Apabila riwayat
itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul
d. Apabila
riwayat-riwayat tersebut sama kuat
e. Bila
riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara
sebab-sebab tersebut berjauhan.
3. Al’ibrah biumumil lafzhi la bikhushushis
sababi ialah mengambil pelajaran atau
hukum dari keumuman lafzh, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni
bila sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum
(general), maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya
tersebut dan setiap hal yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Qur’an
turun sebagai syari’at umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi
tolok ukur/standar adalah keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan
sebabnya.
B.
SARAN
Kami
selaku penulis menyadari seutuhnya bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami minta kritik dan saran dari pembaca agar kami
dapat memperbaikinya di lain kesempatan.
DAFTAR PUSTAKA
Khalil al-Qattan, Manna’. Studi
ilmu-ilmu Qur’an. PT. Pustaka Litera AntarNusa. Jakarta.
Anwar, Rosihon. Ulum
al-Qur’an. Pustaka Setia. Bandung. 2010
Bin
Abdurrahman Ar-Rumi, Fahd. Ulumul Qur’an, Titian Ilahi Press,Yogyakarta, 1997
Zuhdi,
Masjfuk.Ulumul Qur’an. Karya Abditama.
Surabaya.
1997
[2] http://mariachip.blogspot.co.id/2015/02/asbabun-nuzul.html
diunduh pada 05 oktober 2016 pukul 22.14 wib
[4] Fahd Bin
Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an, Titian Ilahi Press,Yogyakarta, 1997,
hlm, 182
[5] Masjfuk Zuhdi,
Ulumul Qur’an, Karya Abditama, Surabaya, 1997, hlm, 36-38
[6]http://manshur-musthofa.blogspot.co.id/2012/02/asbabun-nujul.html
diunduh pada 06 Oktober 2016 pukul 11.50 wib
[7] http://hariyantoblogs.blogspot.co.id/2012/11/al-ibrah-biumum-al-lafazh-la-biumum-as.html diunduh pada 09 Oktober 2016 pukul 05.20 wib
[8] http://kingilmu.blogspot.co.id/2015/07/macam-macam-kegunaan-dan-kaidah-asbab.html
diunduh pada 05 oktober 2016 pukul 22.35
Komentar
Posting Komentar